"Kita akan bekerja untuk emak-emak semuanya. Insyaallah kalau hitungan saya harga daging, harga telur, harga ayam, bisa kita turunin dalam 100 hari pertama. Harga beras saya juga feeling hitungan saya bisa kita turunkan," ujar seorang capres dalam kampanyenya di hadapan emak-emak di Bogor, Jabar, pada Jumat, 8/2.
Kemudian pada Sabtu, 9/2, di Bengkulu cawapresnya berjanji kepada pegiat usaha mikro kecil-menengah dan kelompok pemuda, "Berapa harga karet dan sawit sekarang? Rendah atau rendah sekali? Sampaikan kepada semua, nanti di bawah kami, harga komoditas akan naik atau meningkat."
Juga beberapa bulan sebelumnya (Minggu, 25/11/2018) di Lumajang, Jatim, cawapresnya berjanji kepada gabungan kelompok tani, "Di Batu saya bertemu Pak Agus Sayur soal anjlok harga tomat, di Jambuwer Pak Kresna yang juga mengeluhkan turun harga kopi, dan kini para petani tebu di Lumajang. Insyaallah kami akan memperbaiki semuanya, termasuk kontrak politik kepada para petani tebu. Insyaallah kami wujudkan kembali swasembada pangan."
Ya, beginilah janji-janji salah satu paslon dalam kampanye Pilpres 2019. Kepada petani , ada janji untuk memperbaiki harga yang turun atau anjlok (turun secara drastis). Kepada emak-emak (konsumen), ada janji untuk menurunkan harga-harga sembako.
Sementara belum ada pertemuan paslon tersebut dengan petani bawang, peternak ayam atau penghasil daging, dan penghasil telur. Mungkin, kalau paslon tersebut berjumpa dengan kalangan itu, janji-janji bisa berkontradiksi lagi.
Harga material pangan yang, tentu saja, berkonotasi pada uang, memang selalu menggiurkan siapa pun. "Menggiurkan" di sini bukanlah pada rasionalitas saja, tetapi juga terkait dengan emosionalitas. Bukankah "harga" atau "uang" berpengaruh sekali untuk menggugah emosionalitas banyak orang?
Dalam rangka kampanye sekarang, janji bisa diurai menjadi "jaminan jitu" untuk "menyihir" pola berpikir para calon pemilih. Persoalan terjadinya kontradiksi, tidak benar-benar dipikirkan, baik oleh paslon maupun tim suksesnya, karena sisi emosional bisa berkonfrontasi secara serius-sengit rasional.
Oh, iya, tidak lupa nama "Allah" disematkan agar janji-janji bisa meyakinkan para hadirin (audiens). Maklumlah, di Negara Pancasila, nama Tuhan wajib disematkan sebagai "jaminan utama" seakan-akan seketika "janji" menjadi "janji halal" atau "janji suci" dalam kampanye sehingga kampanye pun menjadi "kampanye halal" atau "kampanye suci".
Beginilah situasi politik kampanye Pilpres 2019 dengan strategi atau taktik "memainkan harga" seperti main yoyo. Kapan yoyo diturunkan (diulur) ataupun dinaikkan (ditarik), tergantung pemainnya pada hitungan putarannya, terlebih pilpres bisa saja seumpama sebuah pertandingan yoyo. Tujuan utama hanyalah kemenangan. Kalau nanti menang sekaligus kekuasaan diraih, permainan lainnya bisa dilakukan sepuas-puasnya.
*******
Balikpapan, 9 Januari 2019