Dari jendela ruang renung saya melihat mendung sedang bergerak perlahan ke atas Gunung Malang, Balikpapan. Jendela yang berada di sisi timur Panggung Renung memang secara langsung menghadap ke sana sekaligus bidang bukaan untuk cahaya alami pada pagi hari.
Gunung Malang merupakan sebuah tempat berdataran di Balikpapan Tengah. Di situ juga terdapat radar milik TNI, Stasiun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel, dan cagar budaya berupa meriam yang pernah dipakai pada Perang Pasifik antara Jepang dan Sekutu 1942-1945.
Nama "gunung" merupakan hal yang biasa dipakai oleh warga Kota Balikpapan sejak lahir dari rahim sumur minyak Mathilda pada 10 Februari 1897 untuk daerah berdataran tinggi. Ada Gunung Sari, Gunung Pasir, Gunung Guntur, Gunung Belah, Gunung Tembak, Gunung Polisi, Gunung Bahagia, Gunung Dubs, Gunung Samarinda, dan lain-lain.
Di Kota Minyak yang luasnya 503,3 kilometer persegi dengan 85% kondisinya berbukit-bukit ini memang tidak memiliki gunung sungguhan (gunung berapi). Mungkin lebih gimana gitu kalau memberi nama daerah dengan "Gunung..." daripada benar-benar ada gunung sungguhan apalagi aktif.
Akan tetapi, ada sesuatu yang mengusik pikiran saya ketika menyaksikan pemandangan "bukit" Gunung Malang yang sedang "disasar" mendung. Dua menara penopang saluran listrik (Saluran Transmisi Tegangan Tinggi/SUTET) yang menjadi "mahkota" Gunung Malang. Di bawahnya tampak beberapa rumah tinggal.
Seingat saya, menjelang akhir 2018 bencana longsor terjadi di sekitar Gunung Malang, yaitu RT 23 dan 24 Gunung Belah, Kel. Karang Rejo pada 18/12 setelah hujan deras. Dua rumah mengalami rusak parah. Beberapa hari sebelumnya, 12/12, longsor terjadi di Kel. Baru Tengah, Balikpapan Barat.
Balikpapan yang berkarakter tanah berpasir memang rawan terhadap bencana longsor. Dalam media 2012-2016 terjadi 72 longsor, dan terbanyak (46) kejadiannya pada 2015. Di wilayah Gunung Malang pun pernah terjadi longsor, yaitu Klandasan Ilir.
Dan, masih belum melewati bulan awal, kalender 2019 dibuka oleh longsor di Kampung Cigarehong Cimapag, Desa Sirnaresmi, Sukabumi, Jawa Barat. Di samping itu gempa masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Gempa Palu, Sulawesi Tengah pada 28/9/2018 juga terasa getarannya hingga pesisir seberang Selat Makassar, ya, di Kota Beruang Madu ini.
Ya, getaran dari gempa di sisi barat Sulawesi bisa berpotensi "mengganggu" kondisi tanah berpasir bin labil di Balikpapan. Hujan pun cukup sering terjadi. "Momok" bernama "longsor" selalu bergentayangan pada saat mendung pekat berkunjung.
Sementara kenaikan jumlah penduduknya cukup signifikan, sekitar 10.747 per tahun, berdasarkan data terakhir (19/1/2018) di Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Balikpapan. Pada 2010 jumlah penduduknya 560.781 jiwa. Pada 2011, 572.184 jiwa. Pada 2012, 583.272 jiwa. Pada 2013, 594.322 jiwa. Pada 2014, 605.096 jiwa. Pada 2015, 615.574 jiwa. Pada 2016, 625.968 jiwa.