Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Menjadi PNS

30 Oktober 2018   19:03 Diperbarui: 31 Oktober 2018   04:31 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa kawan muda di sekitar saya sedang sibuk mengisi formulir pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) secara daring (online). Tidak ketinggalan pula yang berasal dari luar kota, atau sebaliknya, mudik untuk mendaftar.

Di media daring saya pun membaca berita tentang generasi milenial yang "dipaksa" oleh orang tua mereka untuk ikut mendaftar CPNS. Ada juga yang ingin menyenangkan hati orang tua.

Saya pernah mengalaminya ketika berada di kampung halaman, dan ada pembukaan pendaftaran CPNS meski belum secara daring. Orang tua angkat saya "menyuruh" saya mendaftar CPNS. Salah satu "senjata" yang dipakai oleh orang tua angkat saya adalah "kasihan pada orang tua kandung saya".

Mungkin orang tua angkat saya sudah mengetahui kabar bahwa dua kali saya menolak anjuran kakak kandung saya untuk menempati sebuah kursi honorer di pemprov. Kakak kandung saya memang sudah berstatus PNS di pemprov.

"Untuk teman-teman Mas saja," jawab saya ketika itu karena saya konsisten dengan anti-KKN, khususnya nepotisme.

Saya yakin, baik kakak kandung saya, orang tua kandung, maupun keluarga besar saya kecewa atas penolakan saya, bahkan dua kali. Sementara jiwa saya sendiri merasa tidak "terpanggil" untuk menjadi PNS, terlebih ketika beberapa kali saya masuk-keluar kantor sebuah dinas untuk urusan tertentu dan melihat situasi di sana.

Tetapi, "suruhan" orang tua angkat dengan "senjata sakti" itu, mau-tidak mau, saya turuti saja. Maka berangkatlah saya ke ibu kota sebuah kabupaten baru (pemekaran) yang sedang membuka pendaftaran, dan ada posisi yang sesuai dengan latar ijazah terakhir saya.

Kebetulan di kota itu ada kakak angkat saya, yang pernah disekolahkan oleh orang tua saya, dan tinggal lebih 5 tahun di rumah kami. Kakak angkat saya ini termasuk paling dekat pada masa kecil saya, bahkan ketika di awal masuk TK, dia-lah yang mengantar-jemput saya.

Selama mendaftar hingga mengikuti ujian, saya tinggal di rumah kakak angkat. Di sebelah rumahnya juga tinggal anak sulung kawan ibu saya (kawan di RS UPTB, Sungailiat). Saya pun tidak merasa asing dengan situasi di tempat itu.

Pada waktu pendaftaran saya melihat ketersediaan kursi untuk bidang saya. Ada 6 kursi. Kemudian, ketika ujian, saya melihat peserta untuk bidang itu jumlahnya 16 orang. Artinya, kemungkinan (probabilitas) untuk kesempatan lolosnya 3:8 atau 0,375%.

Ujian CPNS ketika itu pun, bagi saya, sangatlah mudah saya kerjakan. Dalam sejarah saya mengikuti ujian, khususnya masuk perguruan tinggi sampai lebih 3 kali di beberapa tempat, ujian CPNS terhitung paling mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun