Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku tema-tema pengembangan potensi diri

Buku baru saya: GOD | Novel baru saya: DEWA RUCI | Menulis bagi saya merupakan perjalanan mengukir sejarah yang akan diwariskan tanpa pernah punah. Profil lengkap saya di http://ruangdiri.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tuhan, Apakah Aku Mencintaimu? (8)

4 Juni 2017   23:05 Diperbarui: 4 Juni 2017   23:09 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(artikel rutin Ramadhan yang di posting setiap waktu Sahur)

Ini adalah hari ke delapan berpuasa. Artinya masih di dalam sepuluh malam pertama di bulan puasa ini. Sepuluh malam pertama ini dikenal dengan malam penuh Rahmat. Kita kadang sering mengucapkan tentang kata rahmat ini dan menyebutkan istilah ‘Rahmat Allah’. Nah, Apa yang dimaksud dengan Rahmat ini?

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu.Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Fathir: 2)

Rahmat sesuai bahasa dapat diartikan sebagai cinta, kasih sayang, kelembutan. Apa saja yang dianugerahkan Allah berupa rahmat tersebut? Selama ini ada beberapa yang menterjemahkan rahmat hanya sebatas hal-hal yang dirasakan sebagai kebaikan seperti kesehatan, rejeki, dan keberuntungan. Namun apabila kita kembalikan kepada sifat Takwa yang berupa Qona’ah yaitu bersyukur menerima apapun yang hadir dalam hidup, maka rahmat bukan hanya hal-hal yang diartikan sebagai kebaikan saja, namun semua hal yang hadir dalam  hidup adalah berupa rahmat.

Ya, apabila kita mengatakan kebaikan, maka kebaikan menurut siapa? Menurut Anda? Kita? Manusia? Atau Allah? Apakah hal yang kita anggap baik maka sudah tentu baik bagi Allah? Atau hal yang baik bagi Allah apakah kita dapat melihatnya sebagai kebaikan? Contohnya adalah penyakit. Saat seseorang sakit, ia menganggap sedang dicoba dan diuji oleh Allah. Ia menganggap sakit adalah sesuatu yang tidak termasuk baik. Namun siapa tahu bahwa di sisi Allah sakit adalah hal yang baik agar seseorang beristirahat.

Bagi orang yang Qona’ah, maka ia akan menerima penyakit sebagai rahmat, sebagai ungkapan cinta dari Tuhannya. Ia tidak akan memusuhi sakit dan malah akan berdamai dengan sakit itu sendiri. Lalu kalau semua hal dalam hidup merupakan rahmat Allah, apakah bulan yang penuh rahmat hanya di sepuluh malam awal Ramadhan ini saja? Tentu saja tidak bukan?

Di sepuluh malam awal Ramadhan ini, seseorang mulai diajak menyadari tentang rahmat tersebut. Mulai dari mana? Mulai dari hidup di saat ini, hidup dalam kekinian dengan syahadat. Mulai rendah hati, mulai bersyukur dan mulai berkesadaran. Apabila sebelumnya mungkin lupa bahwa setiap gerakan di alam raya ini merupakan rahmat, maka dengan berpuasa, hari demi hari manusia diharapkan melahirkan Qona’ah sehingga dapat menerima semua peristiwa sebagai rahmat (kasih sayang Allah).

Mudahkah kita menerima apa yang kita rasakan sebagai benci menjadi kasih sayang? Mudahkah kita menerima apa yang kita alami sebagai sakit menjadi kasih sayang? Mudahkah kita menerima apa yang kita alami sebagai gagal menjadi kasih sayang? Tentu saja tidak mudah bukan? Setidaknya hal ini bukanlah semudah berbicara atau jangan sampai hanya menjadi retorika belaka.

Contoh yang paling mudah adalah sebuah peristiwa yang baru saja terjadi di dunia medsos facebook, yaitu kecaman tentang tuduan sebuah plagiat atas sebuah posting status. Sebenarnya hal ini sering terjadi. Ada status yang di copy paste dan diposting kembali. Hanya saja karena tidak menimbulkan ‘rate’ tinggi maka hal itu menjadi tidak dipermasalahkan. Saya beberapa kali menemukan status saya di copy-paste namun tidak menyebutkan penulis pertamanya yaitu saya. Dan hal itu saya biarkan saja sepanjang dapat menjadi manfaat bagi orang lain.

Apabila kita melihat dalam kasus tersebut, betapa banyak arogansi yang kemudian menghakimi seolah-olah dirinya yang paling benar. Apakah arogansi ini termasuk dalam sebutan manusia bertakwa? Lalu dari sisi korban sendiri tentu saja mendapat tekanan yang  hebat dari berbagai pihak. Apakah tekanan-tekanan tersebut dapat dilihat sebagai rahmat Allah?

Mengapa ada orang yang sudah beragama dan melakukan ibadah agama namun masih arogan? Mengapa ada orang yang beragama dan sudah melakukan ibadah agama namun belum dapat menerima seutuhnya semua peristiwa hidup sebagai syukur?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun