Mohon tunggu...
Inovasi Pilihan

Penggunaan Energi Fosil Masih Tinggi, Lantas Bagaimana?

20 Agustus 2017   20:15 Diperbarui: 20 Agustus 2017   20:27 9485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Hal yang tidak bisa dipungkiri lagi, penggunaan energi dari fosil (minyak bumi, batu bara, gas alam) masih tinggi. Berdasarkan Handook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2016 (HEESI 2016), tiga sumber utama pasokan energi di Indonesia masih dipegang oleh energi fosil yaitu minyak bumi & produknya, batu bara, dan gas alam & produknya. Untuk EBT sendiri, peringkat teratas pemasok tertinggi oleh energi yang berasal dari biomassa, air (hydro power), kemudian diikuti dengan geothermal dan. Namun persentase perbandingan penggunaan energi fosil dan energi terbarukan masih sangat jomplang. Dari data HEESI 2016, batu bara memasok sekitar 24,8 % kemudian 30,2 % oleh minyak bumi dan 19,03 % oleh gas alam dengan total sebesar 74,14 %.

Dampak buruk terhadap lingkungan dan jumlah pasokan yang semakin menurun menjadi salah satu alasan utama pergantian penggunaan energi fosil menjadi energi alternatif atau Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun ketika kembali melihat data, saya sendiri merasa dibohongi, karena penggunaan energi fosil sebenarnya terlihat masih di prioritaskan dan sangat bertolak belakang kicauan media yang sering membahasan EBT.

Lantas tidak serta merta besok, lusa, minggu depan, bulan depan bahkan tahun depan kita bisa langsung beralih menggunakan EBT atau mulai mengganti pasokan energi kita sedikit demi sedikit. Hal ini semakin sulit dilakukan di daerah padat penduduk perkotaan, dimana suplai energi sudah dapat dengan mudah diakses dengan harga jauh lebih terjangkau dibandingkan EBT.

Namun masyarakat masih tetap dapat mengurangi produksi emisi gas dari penggunaan energi fosil, yang saat ini banyak dikenal dengan sebutan konservasi energi. Konservasi energi adalah pengguanaan energi dengan efisiensi dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan [2].

Potensi konservasi energi pada semua sektor memiliki peluang penghematan sangat besar, yaitu 10% - 35%. Penghematan dapat direalisasikan dengan cara mudah, dapat mencapai 10-15%, sedangkan penghematan dengan investasi dapat meraih sampai 30%. Konservasi energi perlu dilakukan terkait dengan permasalahan kelangkaan energi di masa depan. 

Upaya ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah dalam pengembangan energi terbarukan, namun sektor industri juga harus menjalankan kebijakan konservasi energi. Salah satunya industri terkait konstruksi, penting bagi pemilik dan perancang bangunan untuk mengintegrasikan strtegi efisiensi energi pad tahap desan awal untuk diimplementasikan pada tahap-tahap konstruksi, pengadaan dan operasional bangunan.

Salah satu kebijakan pemerintah yaitu Kebijakan Industri hijau yaitu industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industi dan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat [3]. Kebijakan ini ditetapkan dalam undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian. Untuk mewujudkan industri hijau, pemerintah akan merumuskan kebijakan, penguatan kapasitas terkait kelembagaan, standardisasi dan pemberian fasilitas.

Pelaksanaan industri hijau dapat tercapai apabila penggunaan bahan baku, energi, dan limbah/emisi dapat diminimalisir. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan sumber daya dan energi yang efisien, eco-design, daur ulang rendah karbon, guna menghasilkan produk yang bersih. Untuk itu diperlukan dukungan kelembagaan, insentif, standard dan sertifikasi, research and development, pembiayaan, pendidikan dan pelatihan, bantuakn teknis, dan sistem informasi. Saat ini pemerintah menfokuskan industri hijau pada empat jenis industri karena mulai menggunakan EBT sebagai sumber energi yaitu CPO, indusri pulp dan kertas, serta industri gula, bahkan sudah berkembang luas karena EBT juga mulai digunakan pada indsutri semen.

Berikut ini pemanfaatan EBT pada 4 industri yang sudah saya sebutkan diatas:

  • Industri Industri crude palm oil (CPO) banyak menghasilkan limbah padat seperti tandan kosong, serat, dan cangkang dan limbah cair (POME). Cangkang dan serat digunakan sebagai bahan bakar boiler sedangkan tandan kosong digunakan sebagai pupuk dan penyubur tanah. Limbah Palm Oil Mill Effluent (POME) merupakan limbah cair yang menghasilkan biogas (anaerobik) yang dapat digunakan sebagai bahan bakar PLTG. Nilai kalor cangkang dan serat rata-rata sekitar 20.093 kJ/kg dan 19.055 kJ/kg, sedangkan nilai kalor biogas sekitar 5.350 kkal/m3.
  • Industri pulp dan kertas juga berhasil mengolah hasil samping non-condensate gas menjadi bio-methanol pengganti minyak bakar, mengolah sludge menjadi bio-sludge sebagai sumber energi untuk boiler, dan memanfaatkan reject pellet (limbah plastik) pada industri kertas.
  • Pada industri gula tebu, produksi bagasse sebagai limbah memiliki potensi untuk dijadikan energi biomassa, namun produksi bagasse tidak mencukupi kebutuhan energi industri gula (hanya 78%), sehingga diperlukan bahan bakar lain, seperti minyak residu, kayu, sekam, moulding, cacahan tebu, minyak solar dan lainnya.
  • Pada industri semen, jenis energi alternatif yang digunakan sangat beragam mencakup ban bekas, sampah, limbah plastik, tempurung kelapa, makanan bekas, oil sludge, kemasan bekas, rice husk, dan lainnya. Berbeda dengan ketiga industri terpilih di atas, pemanfaatan energi alternatif pada industri semen tidak di disain sejak awal sehingga merupakan tambahan yang memerlukan modifikasi tersendiri dalam proses penyediaan dan pemanfaatan energi alternatif. Penggunaan energi alternatif pada industri semen secara ekonomi menguntungkan dan kendala yang dapat terjadi adalah kontunuitas pasokan energi alternatif

Manusia secara per-orangan juga dapat melakukan konservasi energi. Sebagai konsumen cerdas, banyak yang bisa dilakukan untuk menghemat listrik yang digunakan,mulai dari memilik peralatan elektronik hemat energi, pengoperasian alat elektronik yang benar sampai membuat bangunan dengan pakem bangunan hijau [4]. Hal yang disebutkan diatas salah satunya berupa kebiasaan sehari-hari, sepeerti mematikan listrik yang tidak digunakan terlihat sederhana namun jika dilakukan oleh ratusan hingga milyaran manusia dimuka bumi, maka dapat mengurangi konsumsi penggunaan energi dalam jumlah yang sangat besar.

Penulisan ini untuk #15HariCeritaEnergi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun