Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bolehkah Wartawan Menerima Parsel Lebaran?

11 Agustus 2012   02:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:57 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13446365422055043055

[caption id="attachment_206063" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] Lebaran sudah dekat. Tradisi mengirimkan parsel di Indonesia kuat melekat. Satu korporasi dengan perusahaan lain saling memberi bingkisan. Isinya macam-macam. Kita acap menyebutnya parsel Lebaran. Ada kue, minuman ringan nan bersoda, roti dalam kaleng, juga selembar kartu ucapan. Harga setiap parsel bervariasi. Ada yang di kisaran ratusan ribu, juga ada yang sampai jutaan. Semua bergantung pada konten item di dalamnya. Untuk perusahaan, rasanya wajar saling berkirim parsel. Ini dibutuhkan untuk merekatkan relasi bisnis yang terjalin baik selama ini. Nah, sekarang masalahnya, apakah jurnalis atau wartawan juga dibenarkan menerima parsel? Mari kita dedahkan ihwal menarik nan menggelitik ini. Jurnalis bertugas melaporkan fakta yang terjadi di lapangan. Mereka pasti menemui banyak narasumber, tergantung di pos mana mereka ditugaskan kantor redaksi. Yang mukim lama di pemerintah daerah, sudah tentu narasumber utamanya gubernur, sekretaris daerah, para kepala dinas, badan, biro, dan sejenisnya. Yang ngepos di dewan, pasti setiap hari bersua dengan legislator, politikus, orang ormas, dan sekretaris dewan. Yang bertugas di tempat "wangi" di desk bisnis, sudah tentu pebisnis, manajer, humas korporasi yang ditemui saat liputan. Jurnalis yang begitu menguasai medan liputan pasti dikenal baik oleh narasumbernya. Sehingga tak heran beberapa narasumber, karena mungkin merasa dekat, kemudian mengirimkan parsel Lebaran. Isinya mungkin kue, juga bisa produk korporasi tertentu. Boleh jadi parfum, kemeja, jas, arloji, sampai dengan ponsel. Jurnalis yang setiap liputan hadir dengan idealisme dan profesionalitas yang baik saja kadang masih dikirimi parsel. Padahal, dalam setiap liputan, saat pihak penyelenggara memberikan uang transpor, jurnalis pasti menolaknya. Narasumber ada yang maklum, ada juga yang beranggapan kalau pemberiannya kurang. Tapi karena momen Ramadan dan Lebaran ini istimewa, banyak narasumber yang ngotot memberikan. Mereka bilang ini sebagai bentuk silaturahmi dan ungkapan sukacita. Kode Etik Wartawan Indonesia terbaru, yang diteken ketua atau sekjen belasan bahkan puluhan organisasi profesi pers, sepakat bahwa jurnalis dilarang menerima pemberian apa pun, dengan alasan apa pun. Bahkan kita bisa telisik di boks redaksi surat kabar, majalah, atau pesan berjalan di televisi, redaksi menegaskan wartawan dilarang menerima pemberian dari siapa pun. jurnalis jamak menyebutnya "amplop". Bukan denotatif amplop, melainkan uang maksudnya. Atau benda lain yang dikonversi ke dalam mata uang, termasuk ya parsel lebaran. Mengapa sih sampai sedemikian ketat jurnalis diatur tidak boleh menerima amplop atau pemberian? Penjelasannya begini. Media massa itu idealnya bebas dari kepentingan apa pun, termasuk dari pemilik media, yang alih-alih sekarang banyak yang pegang partai. Karena pers itu mesti independen, ia mesti mandiri secara keuangan. Oplah atau rating serta iklan adalah pemasukan. Karena media bergerak dalam ranah kontrol kekuasaan, independensi ini penting. Maka itu, ujung tombak media yang dimainkan oleh wartawan, juga kudu independen. Setiap pemberian, suatu waktu, pasti berpengaruh dengan independensi. Kalau sudah terbiasa menerima duit dari narasumber, bagaimana wartawan mau skeptis, mau kritis, mau memperjuangkan kepentingan publik. Jika saban waktu duit di saku jurnalisnya dipasok dari humas pemda, bagaimana mau menulis yang "keras". Saat ada kejadian yang faktanya pemda atau narasumber di posisi salah, sulit buat jurnalis menulisnya tanpa melihat jasa narasumber selama ini. Kata seorang teman, tangan yang di bawah takkan sanggup melawan tangan yang di atas. Kalau sudah keseringan menerima duit amplop, sulit mau kritis. Ada kejadian di tempat kami di Bandar Lampung. Suatu waktu wali kota berdebat sengit dengan wakil wali kota. Publik sudah mahfum kalau keduanya sedang tak akur. Biasa, karena sulit berbagi, pucuk pimpinan daerah bentrok. Tapi debat hari itu sangat terbuka. Disaksikan wakil rakyat dan utusan dinas. Tapi anehnya berita seksi itu tak keluar di beberapa surat kabar arus utama. Di koran lain dan televisi lokal, hal itu malah jadi headline. Usut punya usut, pihak humas meminta semua jurnalis yang meliput tidak menulis peristiwa itu. Buat wartawan yang tahu mana berita bagus, permintaan itu ditampik. Apa urusannya humas meminta demikian. Ini konsumsi publik, bahwa ada ketidakharmonisan antara kepala daerah dan wakil. Jika berlarut, pasti kontraproduktif. Atas dasar itu, berita ini sangat layak menjadi headline. Wartawan yang manut saja dengan ucapan humas ya tidak membuat berita. Yang jelas, jurnalis itu didamprat habis-habisan oleh pemimpin redaksinya. Berita oke semacam itu malah tidak ditulis. Alasannya aneh pula: dilarang humas. Capek deh. * Independensi jurnalis dicontohkan dengan teramat baik oleh "Nabi Jurnalisme" Bill Kovach. Hm, nabi? Hiperbola? Bisa jadi. Tapi ini penghormatan buat jurnalis senior itu yang di Amerika Serikat disebut dengan nuraninya jurnalisme AS. Penulis buku "Sembilan Elemen Jurnalisme" ini bersikap bak jurnalis yang benar-benar independen. Kovach punya karib semasa kuliah di Harvard. Namanya Homer Peas. Usai kuliah, Kovach jadi wartawan, Peas jadi poliitikus. Saat pemilihan presiden, Peas ada di kubu John Kennedy yang kemudian menang. Tapi Peas melakukan kecurangan. Ia menyuap pemilih dengan janji sebotol sampanye. Ini pelanggaran dan Kovach tanpa ampun menuliskannya. Tersebab artikel Kovach, Peas pun disidik pengadilan. Peas dihukum bersalah menyuap. Penjara menantinya, gara-gara artikel berita yang dibuat karibnya sendiri: Kovach. sebelum masa hukuman berakhir, pengadilan memberi pilihan, apakah Peas bersedia menjalani wajib militer lagi ke Vietnam. Peas yang telanjur malu mengiyakan. Medan perang Vietnam ia jalani. Sampai suatu ketika, ia mati di sana. Kovach demikian terpukul. Tapi itu tak menghalanginya untuk tetap kritis. Dalam satu kesempatan di Indonesia, penulis buku "A9ama Saya Adalah Jurnalisme" Andreas Harsono, berbincang soal itu kepada Kovach. Harsono berujar, kalau anak dan istrinya yang melakukan pelanggaran, apa sikap Kovach. Mantan Kepala Biro New York Times Wilayah Washington ini bilang, "Saya sendiri yang akan mereportasenya." Luar biasa! Saya jadi ingat ujaran Nabi Muhammad: Kalau Fatimah binti Muhammad mencuri, saya sendiri yang akan potong tangannya." * Sikap menolak segala pemberian narasumber, termasuk parsel lebaran, bukan lantaran si wartawan sudah bergaji layak. Watak amplop acap tak berbanding lurus dengan gaji jurnalis. Misalnya, ada jurnalis senior yang rumahnya bagus, mobilnya ada beberapa, dan sudah naik haji serta umrah. Tetap saja, barangkali karena semua hartanya hasil duit amplop, tabiatnya tak berubah. Gaji besar rupanya tak serta-merta menjadikan seorang wartawan menjadi baik. Ini lebih pada sikap. Integritas pribadi. Karakter. Tabiat dasar. Watak. Menolak parsel adalah sebuah upaya menjaga martabat seorang jurnalis. Kita tak bakal tahu, para narasumber itu akan menjadi objek liputan kita suatu hari. Anggaplah begini. Kalau kita sudah sering mendapat asupan duit dari gubernur, saat pak gubernur disidik KPK karena korupsi, bisakah kita menulisnya dengan objektif? Itu pasti sulit luar biasa. Menulis yang kritis kepada orang yang acap memberikan kita uang. Pasti terbayang, betapa besar jasa orang itu kepada kita. Itu makna tangan di bawah takkan mampu melawan tangan di atas. Itulah gunanya kita menjaga sikap independen atas semua hal. * Parsel lebaran rupanya bukan sekadar ungkapan sukacita atas perayaan Hari Raya. Ia ternyata bisa menjadi kunci pembuka bencana buat diri seorang wartawan. Permisif menerima segala pemberian bisa membentuk watak jurnalis menjadi wartawan amplop, terlepas dari apakah medianya sudah menggaji layak atau tidak. Beberapa jurnalis yang permisif amplop bilang, tak apa menerima duit dari narasumber asal tak berkaitan dengan berita. Ini logika aneh buat saya. Satu gugatan yang gampang buat wartawan yang masih punya pola pikir seperti itu. Coba tanyakan, kalau kita bukan wartawan, apa mau narasumber itu kasih uang? Jawabannya hakulyakin tidak. Mereka kasih uang ke kita ya karena kita wartawan. Narasumber punya motif berbaik-baik dengan jurnalis. Itu cuma alasan saja dengan bungkus silaturahmi, pertemanan, dan sebagainya. Tegasnya, karena kita jurnalislah para narasumber bersusah payah mengalokasikan duit buat wartawan. Kalau kita bukan wartawan, takkan mungkin mereka memberikan uang. Ketimbang menjadi watak yang jelek, sudah selayaknya perilaku itu kita buang. Menjadi sosok jurnalis yang baik. Punya sifat skeptis dan menjaga martabatnya dari segala pemberian dari narasumbernya. Sekarang mungkin cuma parsel lebaran. Tapi jika tak awas, tahun berikutnya parsel lebaran bisa sebuah secarik surat. Isinya hadiah untuk umrah atau naik haji. Alamak, apakah sanggup kita menolaknya, jika setiap hari watak kita sudah bernama amplop? Wallahualam bissawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun