Rancangan Undang Undang Kesetaraan Gender yang kini sedang dibahas di DPR RI menuai protes dari berbagai kalangan, khusunya dari kalangan Ilmuwan Islam. Hal ini disebabkan karena RUU Kesetaraan Gender dinilai telah menabrak ketentuan dalam Al-Qur’an dan hadis. Menurut kalangan yang “kontra” terhadap pengesahan RUU KG, bahwa ayat-ayat al-Quran dan hadits yang selama berabad-abad sudah dipahami secara pasti dalam konsepsi Islamiah sebagai salah satu agama yang memandang suami dalam ikatan perkawinan adalah sebagai pemimpin dalam keluarga, kini digugat dan dipaksa untuk berubah, mengikuti konsep keluarga dalam “tradisi Barat modern” yang meletakkan suami dan istri dalam posisi setara dalam segala hal.
Feminisme dan Gerakan “Kesetaraan Gender”
Sebelum lebih jauh melihat ada apa di balik RUU Kesetaraan Gender yang sementara di bahas oleh DPR RI, penulis mengajak pembaca menoleh ke belakang melihat sejarah lahirnya konsep kesetaraan gender. Dilihat dari latar belakang historis, konsep kesetaraan gender menurut Rowbotham sebenarnya lahir dari pemberontakan perempuan barat akibat penindasan yang dialami mereka selama berabad-abad lamanya. Sejak zaman Yunani, Romawi, dan Abad Pertengahan (the Middle Ages), dan bahkan pada “abad pencerahan” sekali pun, barat menganggap wanita sebagai makhluk inferior, manusia yang cacat, dan sumber dari segala kejahatan atau dosa. Hal ini pun kemudian memunculkan gerakan perempuan barat menuntut hak dan kesetaraan perempuan dalam bidang ekonomi dan politik yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan feminis.
Kelahiran “feminisme” dibagi menjadi tiga gelombang, yakni feminisme gelombang pertama dimulai dari publikasi Mary Wollstonecraft berjudul “Vindication of the Rights of Women” pada tahun 1972, yang menganggap kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan ekonomi pada laki-laki dan peminggiran perempuan dari ruang publik. Setelah itu, muncul feminisme gelombang kedua dengan doktrinnya yang memandang perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai gugatan perempuan terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis (heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah setiap aspek dari kehidupan pribadi dan politik. Terakhir adalah feminisme gelombang ketiga yang lebih menekankan kepada keragaman (diversity), sebagai contoh ketertindasan kaum perempuan heteroseksual yang dianggap berbeda dengan ketertindasan yang dialami kaum lesbi dan sebagainya. (Arivia, 2002).
Pro-Kontra RUU Kesetaraan Gender
Dari latar belakang historis munculnya konsep kesetaraan gender, kita dapat menilai bahwa konsep ini secara substansial sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Alasannya adalah, bahwa ajaran feminisme dibesarkan dan tumbuh subur bersamaan dengan konsep dan pemikiran liberalisme dan sekularisme yang telah mencabut nilai-nilai spiritual dalam peradaban “barat”. Sebagaimana kaum feminis barat, kelompok yang menamakan diri “feminis muslim” juga menuding bahwa salah satu faktor yang paling mengemuka dalam timbulnya ketidakadilan gender adalah interpretasi ajaran agama yang sangat didominasi ide “bias gender” dan bias nilai-nilai patriakal.
Terkait masalah di atas, hal inilah yang kemudian membuat para penggiat Islam menilai bahwa apa yang dilakukan DPR RI sekarang yang sedang merumuskan ketentuan mengenai ide dan konsep kesetaraan gender melalui RUU Kesetaraan Gender merupakan langkah salah yang meski disikapi. Menurut kalangan penggiat Islam, hal ini disebabkan karena dalam RUU KG ada beberapa ketentuan yang sudah secara terang-terangan melabrak ketentuan dan ajaran Islam. Beberapa ketentuan yang dimaksud antara lain:
- Pasal 1 ayat (2), menyebutkan, bahwa:
“Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontroldalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan”.
Ketentuan dalam pasal ini memandang adanya diskriminatif selama ini terhadap kaum perempuan yang membedakan posisinya dengan kaum laki-laki. Bentuk diskriminasi yang dimaksud antara lain terkait pakaian, larangan perempuan menjadi pemimpin negara/penguasa, tanggung jawab keibuan, relasi suami istri, perkimpoian, perwalian, ketentuan waris dan lainnya sebagainya. Semua hal di atas dianggap diskriminatif dan tidak memberikan keadilan bagi kaum perempuan.
- Pasal 3 huruf (f) menyatakan: