Mohon tunggu...
Astrid AJ
Astrid AJ Mohon Tunggu... -

Bukan travel writer atau fotografer. Namun selalu merasa hidup dalam suasana liburan dan senang melakukan hal-hal yang random. Dari liburan panjang di hangatnya matahari, deburan ombak, dan semilir angin pantai Bali, kini lanjut ke negeri cokelat dan berbagi nama yang sama dengan putri dan mendiang ratu setempat yang tersohor.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bermain 'Ogoh-ogoh' Ular Naga Panjangnya di Mons, Belgia

29 Juni 2011   19:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:04 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setelah seminggu sebelumnya, KBRI Brussels mengadakan pawai Ogoh-ogoh di taman wisata Pairi Daiza, kota Mons yang berjarak sekitar 10 km dari lokasi tersebut tak mau ketinggalan menampilkan semacam Ogoh-ogoh berbentuk naga khas kota ini. Bukan, ini bukan acara tandingan atau contek-mencontek. Naga ini merupakan kebanggaan kota Mons dan salah satu tokoh penting dalam festival tahunan yang telah dilakukan selama ratusan tahun bernama Ducasse de Mons atau populer dengan nama Doudou.

Doudou yang diadakan sekitar tanggal 19 Juni lalu merupakan ritual tahunan di kota yang terletak di Belgia selatan dan berbatasan dengan Perancis. Acara ini merupakan salah satu ritual tahunan tertua di Eropa dan oleh UNESCO dimasukkan dalam kategori Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity.

Berawal dari cerita di abad pertengahan ketika kota Mons terserang wabah, sehingga dilakukan prosesi dengan menggunakan pusaka dari sesepuh atau pelindung kota ini, Sainte Waudru. Karena setelah prosesi ini terjadi keajaiban dan wabah tersebut menghilang, maka diputuskan setelah delapan minggu dari Hari Raya Paskah atau Trinity Sunday, prosesi ini harus kembali diadakan.

[caption id="attachment_116903" align="aligncenter" width="300" caption="Walikota Mons, Elio di Rupo dan beberapa tokoh dalam festival berjalan dari Hôtel de Ville menuju prosesi di La collégiale Sainte-Waudru (foto: Astrid AJ)"][/caption]

Masyarakat kota Mons tentunya sangat antusias menyambut acara ini di setiap tahunnya. Hampir seluruh toko memasang dekorasi yang bertema Doudou. Tempat tinggal penduduk pun tak mau kalah bersolek. Wujud naga hijau memenuhi kota. Tua-muda begitu bangga mengenakan atribut naga ini. Jadi bingung.. harusnya si naga ini sih jahat, tapi kok dicintai orang sini? Mungkin karena wujudnya lucu.

[caption id="attachment_116906" align="aligncenter" width="300" caption="Naga nyengir yang lucu (foto: Astrid AJ)"][/caption]

Anyway, Mengawali kemeriahan acara, sejak hari Jumat sore di sekitar Grand Place atau alun-alun kota dan berbagai ruas jalan dipenuhi dengan lapak makanan dan minuman yang menyajikan bir dan kentang goreng andalan Belgia. Tak ketinggalan digelar, konser artis terkenal dari daerah setempat.

Bagi saya, ketika saat Doudou ini tiba, merupakan penanda untuk melupakan sejenak tidur di kota yang biasanya tenang. Hampir seminggu penuh seluruh kota berpesta pora, dan nyaris non-stop! Musik berdentum dari seluruh penjuru kota. Para DJ bersaing memainkan musik andalannya dari booth yang sengaja diletakkan di depan bar atau diatas atap bangunan. Aroma dari berbagai jenis makanan dan minuman membahana. Jalan-jalan kecil berbatu yang biasanya sepi menjadi hingar bingar dan penuh sesak. Orang-orang berjalan berdesakan. Pedagang mainan dan souvenir ada dimana-mana. Saya jadi teringat semasa kecil ketika mengunjungi Arena Pekan Raya Jakarta.

Keesokannya di hari Sabtu, sejak siang orang-orang telah kembali nongkrong di lapak pinggir jalan dan bersenda gurau dengan teman-temannya. Oleh masyarakat setempat, acara ini merupakan ajang temu kangen yang pas.

Ketika sebagian orang sedang asyik menikmati malam minggu, di Gereja St. Waudru (La collégiale Sainte-Waudru) diadakan prosesi penting dalam rangkaian festival.

Berada di dalam gereja tersebut rasanya seakan kembali ke masa di abad pertengahan, saat pertama kalinya acara ini diadakan, dimana pusaka kota ini diturunkan dari altar dan diberikan kepada Walikota Mons. Yang menarik adalah, setelah acara prosesi formal berakhir, masyarakat setempat berjejalan untuk dapat menyentuh pusaka emas tersebut untuk keberutungan.

Hari Minggu merupakan puncak dari festival ini. Sekitar pukul delapan pagi orang-orang telah berjejer di sepanjang trotoar di sekeliling kota untuk melihat parade ala abad pertengahan. Partisipan parade ini datang dari kota-kota kecil yang ada di sekitar Mons. Mereka memakai baju tradisional dan membawa pusaka dari gereja setempat. Penjaga kerajaan tampak membawa tombak dan beberapa memainkan musik. Ksatria berbaju besi tampak gagah diatas kuda. Dentingan rangkaian bel memainkan lagu Doudou yang hafal dinyanyikan masyarakat. Melihat koleksi busana partisipan seakan melihat gambaran romansa dongeng jaman dahulu kala.

[caption id="attachment_116908" align="aligncenter" width="300" caption="Parade mengelilingi kota dengan membawa pusaka dari Gereja St. Waudru (foto: Astrid AJ)"][/caption]

Yang paling ditunggu oleh para penonton adalah ketikan kendaraan yang berupa kereta emas atau Car d’Or melewati ruas jalan-jalan utama kota Mons. Diatasnya telah diletakkan pusaka dari gereja St. Waudru.

Akhirnya tepat di tengah hari, rombongan parade sampai di tanjakan yang terletak di depan Gereja St. Waudru. Lautan manusia memenuhi area ini. Saya enggak pernah melihat orang sebanyak ini selama tinggal disini. Mereka mengerahkan segenap tenaga untuk mendorong kereta kuno yang begitu indah namun tampak rapuh ini. Semua bersorak sorai. Diyakini bahwa Car d’Or ini harus didorong menaiki tanjakan. Jika tidak berhasil, katanya satu kota akan mengalami kesialan. Percaya atau enggak dengan legenda ini, namun saya agak deg-degan juga melihatnya.

[caption id="attachment_116909" align="aligncenter" width="300" caption="Car d´ Or (foto: Astrid AJ)"][/caption]

Enggak lama, ribuan orang yang berada di sekitar gereja lanjut berbondong-bondong menuju Grand Place tempat diadakannya acara pertarungan atau combat yang dinamakan Lumeçon antara Saint Georges dengan naga yang merupakan highlight dari rangkaian festival.

Melihat kehadiran sosok naga nyengir berbadan hijau dengan pita warna-warni, semua orang bersorak-sorai. Beberapa lelaki berkostum putih (Homme Blancs) tampak menggotong Ogoh-ogoh berbentuk naga yang memiliki panjang sekitar sepuluh meter ini. Karena naga ini mencerminkan kejahatan, maka membantu kekuatan naga tersebut terdapat sekelompok lelaki lainnya bernama Diables yang berpakaian terusan hitam dengan lukisan iblis di belakangnya dan membawa senjata yang tampak seperti kandung kemihnya sapi. Sementara Saint Georges yang melambangkan kebaikan datang dengan gambaran seorang ksatria berkuda. Ia dilindungi oleh sekelompok lelaki yang merepresentasikan anjing (Chin-Chins).

Keadaan pun menjadi makin ramai ketika Diables memukul-mukulkan senjatanya kepada Chin-Chins dan beberapa penonton hingga mereka bergulingan. Sang naga diarak dan menyerang Saint Georges dengan menyentak buntutnya. Kadang naga yang digerakkan secara sirkular di tengah alun-alun dihempaskan ke penonton, memberi kesempatan kepada mereka untuk menjambak dan mengambil  rambut naga tersebut untuk keberuntungan. Namun perjuangan sungguh berat karena perlawanan para penonton yang berada di baris terdepan dan kesemuanya lelaki bertelanjang dada yang tampak kelebihan adrenalin ini dipersulit dengan pendukung naga yang memakai baju dengan ornamen dedaunan (Hommes de Feuilles) dan memukuli para penonton yang terlalu bersemangat.

Adu jambak, adu otot.

Brutal dan heboh.

Namun tetap terkendali karena ini memang merupakan bagian dari koreografi. Termasuk gerakan Saint Georges dan naga yang searah jarum jam dan sebaliknya ketika mengelilingi arena pertempuran dan dianggap mencerminkan kebaikan dan kejahatan.

Sepanjang pertempuran, saya hanya bisa menatap dari kejauhan, menontonnya dari layar raksasa yang ditempatkan di Grand Place. Rasanya lebih menikmati nonton dari dekat pada hari sebelumnya ketika diadakan gladi resik dan melihat satu persatu karakter pendukung acara lainnya seperti pak polisi, pemadam kebakaran, dan kelompok angkatan bersenjata.

Setelah berkali-kali Saint Georges mencoba mengalahkan naga tersebut dengan tombaknya hingga patah, akhirnya dikeluarkan senjata pamungkas berupa pistol. Dor! Sang naga pun tersungkur kalah, dan warga kota Mons bisa kembali hidup dengan tenang. Lagu Doudou terus dikumandangkan dan bersautan dengan dentingan lonceng dari menara Belfry yang menunjukkan tepat pukul satu siang.

Beruntung banget seusai perhelatan legendaris ini, seorang cowok abg yang tampak kucel akibat aksi tersebut datang menghampiri dan membagi-bagikan helai demi helai rambut dari buntut naga. Sementara yang belum kebagian, langsung sibuk menunduk dan mengais-ngais, mencari sisa-sisa rambut buntut yang tercecer di arena becek karena sepanjang acara hampir selalu hujan.

Ketika pertempuran ini selesai, bukan berarti festival di tahun ini selesai. Diantara acara-acara pokok ritual ini, masih banyak hal menarik lainnya untuk disaksikan. Misalnya konser band militer dari berbagai negara atau sale besar-besaran di hampir semua toko yang ada di Mons. Akhirnya festival ini (hampir) ditutup dengan parade kembang api.

Karena acara pertarungan naga ini begitu populer, maka seminggu kemudian (tanggal 26 Juni 2011) kembali diulang untuk versi anak-anak, Petit Lumeçon. Mulai dari tokoh, kostum, hingga naganya dibuat sama persis namun dengan versi anak-anak. Crowd nya pun hanya anak-anak yang mencoba meniru aksi mengambil rambut buntut naga. Setelah acara, anak-anak diperbolehkan bersalaman dan foto bareng dengan Saint Georges kecil dan mengamati anaknya naga hijau nan lucu.

Tertarik untuk menyaksikan event ini di tahun depan? Kota Mons sangat mudah dicapai, terutama menggunakan kereta dengan koneksi langsung dari Brussels atau Paris, hanya sekitar satu jam.

Berbagai sudut kota Mons sangat mudah dicapai dengan berjalan kaki. Selain itu, pemerintah setempat menyediakan bis gratis untuk siapa aja untuk mempermudah mengelilingi kota ini.

Mons memang belum menjadi destinasi wisata yang populer di Eropa, namun dengan bangga akan menjadi ibukota budaya Eropa di tahun 2015. Berbagai acara menarik tak pernah habis digelar. Mulai dari festival cokelat, teater jalanan, hingga tank masuk kota.

Sampai jumpa di Mons!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun