Ulama pewaris peran-peran kenabian, namun pemahaman ahli waris kenabian itu telah direduksi menjadi pengkhotbah—selanjutnya menjadi profesi yang sejajar dengan profesi lainnya seperti dokter, guru atau pengacara.
Padahal ada ayat yang menyatakan ballighu anni walau aayah, sampaikanlah walau satu ayat. Maka menyampaikan kebenaran itu kewajiban setiap muslim. Dan penyampai kebenaran tidak dipersonifikasikan dengan lulusan fakultas dakwah.
Malah, para pendakwah memerankan tugasnya dengan kekeliruan yang cukup fatal, karena kadung pendakwah dijadikan sebagai sebuah profesi. Maka ia berhak mendapatkan upah. Padahal sejak Nabi Ibarahim hingga Nabi Muhammad SAW menyerukan kalimat yang sama: Allah itu Maha Esa dan mereka tak harapkan upah seperserpun.
Akan halnya dakwah gratis itu, Al Quran berkali-kali mengutip kata Nabi. Makannaya: seseorang tidak boleh dibayar hanya karena mengajak orang lain kepada kebenaran. Jika tidak, apakah itu tidak berarti ayat-ayat telah dijual secara murah?
Al Quran menegaskan prinsip itu. Sebagai penyeru, para Nabi tak lupa kewajibannya mencari nafkah. Nabi Isa tukang kayu, Nabi Daud dan Sulaiman seorang raja, Rasulullah Muhammad sebagai pedagang.
Yang unik, pada diti Nabi terakhir. Energi profesionalitas beliau dipakai untuk menegakkan kebenaran. Ini adalah sebuah contoh paripurna. Pesannya: kerahkan seluruh energi yang kau miliki untuk menegakkan kalimatullah, Allah itu Esa.
Akibat kekeliuran paradigma, tugas dakwah tak lagi inheren dalam kehidupan seorang muslim. Seorang dokter seolah tidak pas dakwah karena itu wilayah ustadz. Presiden, pengacara, tukang bengkel, sampai simbok penjual pecel di pojok pasar juga terasa kurang pantas kalau berdakwah.
Karena fenomena inikah, umat tak banyak berubah lebih baik. Belum lagi umat diusik kasak kusuk soal tarif ustadz sekian juta sekali ceramah, membuat nasehat ustadz kehilangan wibawa.
Salam Kompasiana...