Mohon tunggu...
Abu Fathan
Abu Fathan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Abu Fathan adalah nama pena saya. Fathan saya ambil dari nama depan anak pertama saya. Nama asli saya Badiatul Muchlisin Asti. Pernah menekuni dunia jurnalistik sebagai Jurnalis, Redpel, dan PimRed; menulis lebih dari 40 buku dan diterbitkan oleh beberapa penerbit di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Solo; menyunting puluhan buku; mengisi pelatihan dan event kepenulisan dan jurnalistik; owner Oase Qalbu Group, Ketua Umum Yayasan Mutiara Ilma Nafia, dan Ketua Umum JPIN Pusat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ternyata, Leluhur Bung Karno Berasal dari Grobogan Jawa Tengah

23 Desember 2011   12:21 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 15145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_158509" align="aligncenter" width="500" caption="Cover buku Menyingkap Asal Usul Bung Karno"][/caption] Setelah mengobrak-abrik perpustakaan pribadi saya, saya menemukan buku berjudul Menyingkap Asal Usul Bung Karno ini dalam keadaan covernya sudah lusuh. Ada bagian cover yang mengelupas, sehingga sebagian judul buku ini terpenggal tak terbaca.

Dalam buku tipis karya Sugeng Haryadi ini dikupas jejak leluhur presiden pertama Republik Indonesia Ir. Sukarno atau yang akrab disapa Bung Karno. Ternyata leluhur Bung Karno pernah tinggal dan menetap di Grobogan, tepatnya  di Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari.

Bagaimana itu bisa terjadi? Awalnya bermula ketika Raden Mangoendiwirjo menjadi Wedana Pamajekan di Wirosari Kabupaten Grobogan. Di Wirosari itu, Raden Mangoendiwirjo kawin dengan putri setempat. Mereka menurunkan 8 putra dan seorang putri, di antaranya adalah Raden DanoWIekromo (diperkirakan lahir tahun 1804). Jadi, saat perang Diponegoro meletus, Danoewikromo sudah merupakan pemuda yang berumur 20 tahun. Ia pun dikabarkan turut berperang memimpin pemuda sebayanya di Desa Kalirejo, Wirosari.

Ketika perang usai, ia kembali ke daerahnya dan menyunting seorang putri di Wirosari. Hasil perkawinan itu menghasilkan empat putra dan seorang putri, yakni: Raden Kromoatmojo, Raden Soemodiwirjo, Raden Mangoendiwirjo, Raden Nganten Kartodiwirjo dan si bungsu, RADEN HARDJODIKROMO yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakek Bung Karno.

Setelah menginjak dewasa, Raden Hardjodikromo (lahir kurang lebih tahun 1840) menjadi carik (juru tulis) di Desa Kalirejo, Wirosari, sementara kakaknya Raden Mangoendiwirjo menjadi lurahnya. Mereka berdua menggantikan para pamong desa sebelumnya yang telah lanjut usia. Tentu saja, jabatan pamong desa itu bukan hal yang sulit diperoleh, karena kakek mereka adalah tokoh di Kawedanan Wirosari dan ayah mereka prajurit pengikut setia Pangeran Diponegoro yang dihormati.

Dalam perjalanannya, di masa tanam paksa pemerintah kolonial di tanah Jawa akibat kekalahan Diponegoro, Raden Hardjodikromo berniat melepas jabatannya sebagai carik Kalirejo. Kira-kira setahun setelah kelahiran putra ketiganya, yakni RADEN SOEKENI SOSRODIHARJO yang tak lain adalah ayah Bung Karno (sekitar tahun 1873), Raden Hardjodikromo memantapkan hati melepas jabatannya sebagai carik dan berniat pindah ke kota lain.

Tulungagung akhirnya menjadi tujuan kepindahannya. Di kota itu tinggal kakaknya yang diperistri seorang mantri guru. Di Tulungagung, kehidupan Raden Hardjodikromo membaik. Ia menjadi pedagang batik, selanjutnya membuka industri kerajinan batik di rumahnya.

Kondisi ekonomi yang cukup baik, membuka jalan bagi RADEN SOEKENI SOSRODIHARDJO untuk menggapai cita-cita sebagai seorang guru. Saat itu guru merupakan profesi yang dihormati, baik oleh masyarakat maupun pemerintah kolonial.

Oleh karena itu, selepas masa sekolah rendah tahun 1885, Raden Soekeni memasuki Kweekschool (sekolah guru) di Probolinggo. Pada tahun 1889, Raden Soekeni lulus dari Kweekschool dengan memuaskan. Kemudian ia diangkat menjadi guru di kota Kraksaan, Kabupaten Lumajang, Karesidenan Besuki, Jawa Timur.

Tahun 1891, Raden Soekeni menerima tawaran untuk mengajar pada sekolah rakyat di Singaraja, Bali. Di Pulau Dewata itulah, Raden Soekeni menyemai cinta dan menemukan pendamping hidup seorang gadis Bali bernama Idayu atau Ni Nyoman Rai Sarimben, yang kelak kita mengenalnya sebagai ibunda tercinta dari Proklamator Republik Indonesia, Bung Karno. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun