Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Administrasi - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Isu Kantong Plastik: yang Setengah- setengah Emang Bikin Gerah

17 Maret 2016   15:53 Diperbarui: 17 Maret 2016   16:01 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

“Mulai Hari ini, Belanja Pakai Kantong Plastik Bayar Rp 200,” salah satu judul berita di liputan6.com minggu 21 febuari 2016. Dan benar, malam harinya, saya bersama suami melakukan salah satu kunjungan rutin bulanan ke salah satu retail ternama di indonesia (sebut saja Indomaret) dan langsung ditodong 200 rupiah oleh si embak-embak kasir. Karena baru hari pertama, si Embak kasir sepertinya sudah seharian  menjelaskan kepada setiap pengunjung mengenai kebijakan baru tersebut. Bah! Kenapa cuma 200 perak? Harga segitu untuk masyarakat yang terbiasa berbelanja di retail pasti bukan persoalan besar. Jangankah 200 Mbak, 1000 pun orang akan memilih bayar ketimbang nggotong-nggotong belanjaan sampai rumah. Ucap saya, tapi cuma di dalam hati.  Saya endak enak hati jikalau harus melontarkan kata-kata kasar ke si embak cantik yang terlihat cukup kelelahan pasca sosialisasi seharian.

Kebijakan yang satu ini memang masih menimbulkan pro dan kontra. Pro dengan dalih niatan yang bagus yaitu untuk mengurangi permasalahan sampah plastik yang semakin tak terkendali dan kontra karena dalam pelaksanaan, ada beberapa bagian yang dinilai kurang tepat. Mereka yang kontra merasa harga 200 perak terlalu rendah, dan apalagi untuk ukuran tempat perbelanjaan retail kelas minimarket ke atas. Tak dapat dipungkiri bahwa karakteristik konsumen kelas tersebut lebih mengutamakan kepraktisan alias tidak mau repot. Belum lagi menyoal daya ekonomi masing-masing daerah yang tentu saja berbeda-beda. Seperti halnya di Jakarta yang notabene parkir indomaret bayar 2000 rupiah bukan lagi hal istimewa. Takutnya, efek 200 perak tidak akan membuat mereka jera malahan mentok menjadi berita media belaka.

Merubah kebiasaan yang sudah mendarah daging memang tidak mudah. Diperlukan kesadaran penuh akan efek dan bahaya dari kebiasaan tersebut. Dalam hal ini, pemerintah kita memilih cara jinak, mengapa jinak? Karena aplikasi 200 perak tersebut masih menyentuh lapisan retail kelas atas saja, sementara warung-warung dan toko-toko kecil seperti di sekitar pekarangan rumah saya, hanya mencium aroma beritanya saja. Dan sekali lagi, nilai segitu cukup kecil untuk memberi efek jera kepada konsumen kelas atas.

Indonesia harusnya melakukan upaya lebih berani, yaitu menyetop dan melarang peredaran kantong plastik. Dengan begitu konsumen akan memilih caranya sendiri dengan membawa tas belanja sesuai kepribadian masing-masing. Hasilnya, seluruh lapisan konsumen baik kelas atas, kelas bawah, kelas internasional, semua kelas akan terkena pancaran sinar sosialisasi pengurangan kantong plastik. Bisa dibayangkan saja, setiap hari saya belanja harian kira-kira mendapat 3-4 plastik dari warung langganan. Misal, ada 100.000 wanita yang setiap hari belanjan seperti saya, artinya ada 400.000 kantong plastik tergunakan samban harinya. Tentu angka itu hanya taksiran yang jauh dari total ibu-ibu rumah tangga di Indonesia, belum lagi bicara soal Ibu-ibu di belahan dunia lain. Ibu-ibu muda seperti saya yang belanja sayur di warung jumlahnya juga tidak main-main, lho. Karakter kami, sesekali aja belanja di supermarket, tapi kebutuhan sayur harian tetap ke warung. Lebih konkritnya, awal bulan ke supermarket selebihnya yang ke pasar dan warung-warung terdekat, he.

Sebetulnya pengurangan plastik sudah saya terapkan secara pribadi sebelum program 200 perak ini diluncurkan. Ceritanya, saya terinspirasi dari salah seorang teman (yang dalam beberapa hari ke depan akan menjadi seorang Istri). Ia gemar sekali menolak plastik ketika berbelanja, konsekuensinya, ia membawa tas belanja sendiri dari rumah. Sekalipun sesekali tak sengaja mendapat plastik, ia akan menyimpannya rapi dan menggunakannya lagi secara berulang. Dari dia saya jadi kepingin membawa kantong sendiri untuk belanja ke warung.

Awal pertama saya menyodorkan kantong berbahan karung untuk menaruh belanjaan, si ibu penjual sayur menolak, “jangan, nanti tasnya Mbaknya kotor, pakai plastik saja,” setelah eyel-eyelan selama beberapa menit dan menjelaskan mengapa saya tidak mau pakai kantong plastik si Ibu akhirnya mau menerima uluran kantong dari saya. Saya sengaja berpindah dari warung satu- ke warung yang lain untuk melakukan kampanye terselubung. Lama-lama penjual warung selalu hapal dan langsung meminta kantong saya ketika hendak memasukkan sayuran yang sudah saya pilih.

Suatu ketika, si penjual sengaja menyeloteh keras soal kantong belanja saya.

“Di sini, cuma embaknya yang bawa tas sendiri, enak di saya, jadi lebih irit” ujarnya cukup keras. Bukannya suudzon, tapi sepertinya biar didengar oleh ibu-ibu yang lain.

“Itung-itung mengurangi jumlah sampah plastik, Bu,” jawab saya seraya menahan diri untuk tidak menggurui lebih jauh seperti isu global warming dll (padahal saya sendiri belum paham betul.)

“Iya, kemaren saya belanja di Giant, sudah harus bayar plastik, Bu,” ucap salah satu Ibu turut menanggapi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun