Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Pemerintah, Jangan Turunkan PTKP!

22 Juli 2017   11:41 Diperbarui: 22 Juli 2017   12:08 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: http://4.bp.blogspot.com

Pemerintah kembali menganulirkan isu untuk menurunkan PTKP (Penghasilan Tak Kena Pajak) setelah pada tahun 2016 dinaikkan dari basis 3 juta menjadi 4.5 juta dasar PTKP.

Sederhananya, PTKP itu semacam basis minimum pendapatan pekerja/karyawan/buruh yang diperbolehkan dikenakan pajak PPh 21. Artinya kalau basis PTKPnya rendah maka jumlah orang yang disasar bayar PPh 21 khususnya dari kalangan pekerja menjadi banyak. Begitupun sebaliknya.

Tahun lalu pemerintah sudah mensahkan kenaikan PTKP yang awalnya 3 juta menjadi 4.5 juta. Banyak yang menyambut positif kebijakan ini khususnya dari kalangan pekerja/buruh. Dasarnya, bahwa para pekerja/buruh/karyawan, akhirnya terbebas dari beban PPh 21 yang selama ini dibayar tiap bulannya. Dan memang demikian, pemerintahpun 'katanya' berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan rill para pekerja/buruh salah satunya dengan membebaskan mereka dari PPh 21. Pemerintah berasumsi, dengan dinaikkannya PTKP moga-moga tambahan belanja rill para buruh sedikit bertambah.

Namun isu penurunan PTKP yang diprakarsai pemerintah ini, justru membalikkan logika keberpihakan pemerintah sebelumnya. Seolah mengesankan bahwa kebijakan popular presiden untuk berpihak kepada buruh hanya bersifat reaksioner bukan ideologis. Padahal banyak instrumen negara yang bisa dilakukan untuk tetap bisa mendapatkan pendapatan negara tanpa harus menaruh beban itu ke pundak buruh. Bagaimana dengan pajak pengusaha atau korporasi-korporasi besar misalnya? Bukankah mereka yang seharusnya bisa menjadi sumber pajak potensial selama negara konsisten pada penegakan keadilan dalam urusan perpajakan?

Kenaikan basis PTKP memang pada dasarnya selalu naik. Itu hal wajar mengingat pertumbuhan ekonomi dan nilai uang juga naik. Karena itu belum ada sejarah PTKP turun, ini mirip dengan nilai uang yang terus naik. Nah, karena itu, ketika pemerintah ingin menurunkan PTKP sembari menyasar para pekerja/buruh untuk dipaksa kembali bayar pajak PPh 21, ini justru semakin kontradiksi dengan 'keinginan' pemerintah untuk mengintensifkan perlindungan terhadap buruh. Sialnya lagi, dengan terang-terang pemerintah bahkan tanpa rasa malu memang menyasar kalangan buruh.

Alasan pemerintah memang rasional untuk meningkatkan penerimaan pajak. Tapi menjadi tidak rasional ketika hasrat meningkatkan pajak itu untuk kesekian kalinya dibebankan kembali pada buruh. Buruh yang mewakili kelas sosial yang tersulit, alih-alih pemerintah seharusnya memberi perlindungan bagi mereka justru sebaliknya membebani dengan macam-macam potongan tehadap penghasilan mereka yang sudah kecil itu. Seolah buruhlah yang paling mudah disasar, diperas untuk kesekian kalinya agar bisa menyanggah ambisi proyek Infrastruktur Presiden yang pada kenyataannya lebih banyak menguntungkan konglongmerat ketimbang buruh.

Dengan upah buruh yang masih jauh dari kata layak, digunting lagi dengan pajak oleh negara. Ini begitu kontras dengan cara pemerintah berhubungan dengan para pengusaha. Segala bentuk keringanan pajak justru diutamakan. Terakhir adalah kebijakan Tax Amnesty/pengampunan pajak bagi para konglongmerat. Meski pada prosesnya karena keterpaksaan akhirnya kebijakan Tax Amnesty ini pun juga tak bisa juga menghindar untuk tidak memyasar usaha kecil menengah. Lagi-lagi negara terkesan terlalu kerdil di hadapan konglongmerat.

Di sektor tarif pajak pun demikian. Kalau kita lihat trend pengenaan pajak terhadap pengusaha justru terus menurun. Dari kebijakan pengenaan sistem lapisan tarif pajak dengan tarif maksimal 30%, hingga diubah menjadi kebijakan tarif tunggal. Dalam kebijakan tarif tunggal ini pun, pengenaan tarifnya justru terus menurun. Dari tarif 28% pajak bagi badan usaha pada tahun 2009, turun menjadi 25% pada tahun 2010. Hingga keluar PP 46 Tahun 2013 yang mengatur tarif pajak final 1% terhadap omzet yang justru diperuntukkan bukan untuk perusahaan-perusahaan besar melainkan perusahaan kecil-menengah (UMKM).

Puncaknya, diera Jokowi, Presiden bahkan pernah melontarkan isu penurunan tarif pajak degresif radikal bagi pengusaha besar hingga tarif pajak 17% hingga isu penenentuan kawasan zona bebas pajak (0%) bagi pengusaha. Demi untuk memberi kenyamanan bagi para investor, konglongmerat. Semua itu katanya lagi-lagi ingin meniru negara Singapura yang menetapkan pajak rendah bagi pengusaha.

Akhirnya kesan dari kebijakan perpajakan ini begitu kontras. Di hadapan rakyat kecil pemerintah berkesan menjadi aparat yang ganas. Namun, di hadapan pengusaha ia adalah pelayan yang super-ramah. Lantas kapan keadilan sosial yang menjadi sila ke-5 Pancasila terejawantahkan, ketika yang kere terus dihisap perlahan-lahan, sedang yang berkelimpahaan terus diberi keringanan?

 O,ya titip pesan untuk Bapak Presiden; 2014 lalu, katanya dana sudah ada. Kan tinggal kerja, kerja, kerja?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun