Lihat ke Halaman Asli

Zuni Sukandar

Seorang guru SLB

Rindu Ibu

Diperbarui: 14 Maret 2021   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi masih berselimut dingin. Kupaksakan keluar rumah bersama Si Merah sepeda motor bututku. Sepeda kulajukan ke salah satu ATM terdekat. Aku harus mengambil kiriman uang dari Bapak untuk membayar uang indekost. Akhir bulan ini habis masa sewa kamarku . Bu Tuti, sejak kemarin sudah menanyakan kelanjutan  sewa kost padaku.

"Ya, Bu. Saya akan memperpanjang sewa rumah ini," jawabku untuk menenangkan hati Bu Tuti agar tidak sering menanyaiku lagi.

Ibu indekost yang tergolong bawel di antara ibu indekost yang lain. Maklum saja, karena Bu Tuti masih menyekolahkan beberapa anak. Jadi dana yang masuk pasti akan segera digunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Sebenarnya aku takut juga jika harus pindah indekost. Sekarang nggak mudah mencari rumah untuk kost yang lingkungannya representatif.

Kuhentikan sepeda motor tepat di depan pintu ATM. Sepagi ini sudah banyak yang antre di depan ATM. Yang lebih mengherankan lagi, belum ada pukul enam, sudah ada peminta-minta.  Ini peminta-minta memang sengaja dipekerjakan atau bagaimana, entahlah?

Seorang perempuan dengan pakaian cukup lusuh. Wajahnya cenderung kotor. Perempuan berumur sekitar lima puluh tahun itu dengan wajah memelas menadahkan kedua tangannya kepada setiap orang yang ingin bertransaksi di ATM. Sebagian memberi beberapa uang logam atau lembaran seribu atau dua ribu.

Agak lama aku mengantre di depan ATM. Kuperhatikan perempuan berwajah kotor itu mirip sekali dengan wajah Ibuku. Aku sempat kaget juga. Tak sanggup aku melihatnya. Segera kurogoh beberapa lembar uang lima ribuan, dan kuserahkan padanya. Tubuhnya membungkuk beberapa kali sebagai ucapan terima kasih. Mataku tak berkedip mengikuti langkahnya.

Jujur, aku ingin menangis keras  saat melihat wajahnya, tetapi sekuat tenaga kutahan. Malu pada orang-orang yang sedang berbaris mengular di depan ATM. Beberapa menit berlalu, dan kini giliranku untuk memasuki sebuah kotak berkaca yang mampu mengeluarkan uang sesuai permintaan itu.

Kupercepat transaksi di ATM, segera kutinggalkan mesin penghasil uang itu. Aku ingin segera sampai di rumah indekost. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin menangis. Sedih melihat perempuan di depan ATM tadi. Wajah Ibu, tiba-tiba saja muncul dalam benakku. Wajah yang selalu murah senyum, meski tubuhnya terlihat lelah setelah seharian bekerja. Sayang sekali, wajah yang selalu murah senyum itu kini tinggal kenangan.

Kubenamkan wajah ke bantal.  Kutumpahkan rasa sesal dan sedih  yang menumpuk. Kubuka kembali memori lima tahun yang lalu. Waktu itu, aku masih SMP. Bapak dan Ibu sering bertengkar. Setiap terjadi pertengkaran, anak-anak pasti mendengar makian yang sungguh tidak layak didengar. Makian dari Bapak yang memang bertipe keras hampir tiap hari terdengar. Malu sebenarnya pada tetangga. Selain makian, Ibu juga mendapat perlakuan kasar. Pukulan  di wajah dan bagian tubuh lain sudah biasa dirasakan Ibu.

"Pak, mbok sudah. Kasihan Ibu, tiap hari mendapat omelan dan pukulan," kataku mengingatkan Bapak yang kalap.

"Kamu tuh tahu apa! Masih anak-anak nggak usah ikut campur urusan orang tua. Kamu itu tugasnya sekolah, nggak usah sok pintar menggurui Bapak!" jawab Bapakku tidak mau menerima usulanku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline