Lihat ke Halaman Asli

Yayuk CJ

TERVERIFIKASI

Pembalap Baru

Ironi Loyalitas: Hilang di Dalam, Bersinar di Luar

Diperbarui: 16 September 2025   18:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Source: unsplash.com/Todd Jiang

Suatu ketika saya termenung, mengevaluasi perjalanan hampir dua puluh dua tahun mengabdi di sebuah lembaga pendidikan. Hampir separuh usia saya, saya dedikasikan di sana, sebuah pencapaian yang tentu tidak sebentar. Dengan segala dinamika yang ada, saya tetap bertahan, setia bernaung, dan berusaha memberikan yang terbaik.

Namun kenyataan ini semakin menggelitik hati ketika seorang sahabat berbagi keluh kesahnya. Ia, yang juga sudah lama bekerja di sebuah perusahaan besar, kini merasa kurang nyaman berada di tempat kerjanya.

Sebuah ironi muncul: sahabat saya yang dulu dikenal sangat rajin dan loyal, kini berubah drastis menjadi sosok yang acuh. Dahulu, ia rela pulang lebih larut demi menyelesaikan pekerjaan, bahkan berhasil menorehkan sejumlah prestasi. Kini, semangat itu padam.

Dalam sebuah pertemuan santai di kafe, saya memberanikan diri bertanya mengapa ia berubah. Jawabannya mencengangkan, dan jujur saja, saya tidak memiliki kuasa untuk menyalahkan pilihannya.

Mengapa Loyalitas Bisa Pudar?

Fenomena ini bukan hal asing. Banyak orang yang dulunya loyal perlahan bergeser menjadi sekadar “pekerja sesuai jam”. Datang, bekerja secukupnya, lalu pulang tanpa banyak bicara. Tidak ada lagi energi ekstra, tidak ada lagi semangat memberi lebih dari yang diminta.

Ironi ini kian tajam karena di balik sikap dingin itu, ia pernah menjadi sosok yang paling bisa diandalkan. Namun loyalitasnya layu, karena minim apresiasi dan sempitnya ruang aspirasi. Atasan terbiasa dengan kesigapannya, rekan kerja terbiasa dengan dedikasinya, hingga lupa bahwa ia pun manusia yang butuh dihargai.

Perubahan semacam ini lahir dari akumulasi pengalaman kecil yang diabaikan. Ide-ide yang tidak pernah dipertimbangkan, kerja keras yang dianggap hal biasa, atau suara yang tidak pernah didengar. Perlahan, orang belajar untuk diam. Mereka tetap profesional, tetapi berhenti menuangkan energi emosional.

“Loyalitas akan tumbuh subur jika dihargai, tetapi akan layu ketika diabaikan.”

Menemukan Panggung Baru

Ketika ruang di dalam semakin sempit, seseorang akan mencari panggung lain. Dan sering kali, di sanalah ia justru bersinar.

Bayangkan seorang karyawan yang bertahun-tahun mengusulkan perbaikan sistem, namun selalu dipandang remeh. Di kantor, ia memilih diam. Namun di luar jam kerja, ia aktif di komunitas profesional. Di sana, idenya dihargai, bahkan dijadikan rujukan dalam forum nasional. Tak lama, ia diundang menjadi pembicara seminar, membangun jejaring dengan tokoh berpengaruh, hingga meraih penghargaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline