Secarik kertas kecil diserahkan oleh seorang kawan kepada saya, sambil menyebutkan “Ini dari xxxx”. Sontak saja hati saya berdegup kencang, getaran cinta begitu kata orang. Kejadian itu saat saya masih kelas 2 SMP, itu saat pertama kali saya menerima selembar kertas sobekan buku tulis berisi coretan tangan gadis yang menjadi impian saya saat itu.
Selembar kertas yang sebetulnya tidak berisi kata-kata maha dahsyat itu kemudian menjadi keramat. Tak ada yang boleh menyentuhnya dan saya simpan di sela-sela tersempit dompet saya. Meski tidak bertabur kata-kata cinta, lembar kertas itulah adalah surat cinta.
Pada waktu SMA, lantaran tak ada gadis yang mengirimkan surat cinta, maka saya memberanikan diri untuk menulis rangkaian kata-kata indah dalam selembar kertas. Surat cinta itu kemudian saya serahkan kepada seseorang dari balik jendela kelas. Dan meski gadis itu tak membalas dengan surat serupa tapi saya yakin apa yang saya tulis diterima olehnya. Tanda yang terbaca adalah senyum manisnya ketika mata saya dan matanya beradu pandang.
Mengingat masa itu, saya merasa betapa jadulnya ekpresi cinta-cintaan saat itu. Semua tersembunyi, serba diam-diam seolah tak ingin diketahui oleh publik. Tapi kini jaman berubah, kesyahduan kata-kata cinta tak lagi diukir lewat selembar kertas, surat cinta. Medium surat cinta kita telah berganti rupa, dalam wajah wall di facebook, status atau avatar di messenger atau twit di linimassa. Medium yang kemudian telah merenggut privasi surat cinta. Dunia kini seolah-olah harus tahu kalau hatiku kini tengah galau oleh siapa.
Dulu dikenal istilah ‘dari mata turun ke hati’ kini secara ringkas dimodifikasi menjadi No Pic = Hoax. Cinta diwarnai oleh gambar atau rupa. Sebab konon gambar mewakili sejuta kata-kata. Padahal dengan semakin murahnya alat perekam gambar kini seolah gambar sudah tanpa makna karena orang dengan mudah jeprat-jepret sana sini dan kemudian menguploadnya sehingga orang satu dunia tahu kita tengah dimana dan menyantap apa.
Potret tak lagi suci, disimpan di balik dompet untuk ditatap di malam hari kala sendirian di kamar menahan rindu. Kini dengan gadget yang semakin murah, plus pulsa yang diobral dengan aneka skema oleh operator potret digantikan oleh avatar, yang kalau tidak diganti-ganti akan dikomentari oleh orang lain “nggak ada yang lain apa?”.
Kegemaran mengonta-ganti avatar diekpresikan lewat wabah selfie, memotret dirinya sendiri dalam berbagai kesempatan. Untuk memudahkan berekpresi dengan selfie, produsen aksesories membuat alat bantu yang disebut sebagai tongsis alias tongkat narsis.
Dalam relasi percintaan melalui media sosial muncul istilah kode, mulai kode minimal sampai kode maksimal, no mention dan lain sebagainya. Status di wall atau messenger menjadi penanda tengah dalam situasi apa seseorang itu. Jika kode tidak ditanggapi maka bakal hujan Ping atau colak-colek di gadget atau wall facebook.
Sosial media memungkinkan seseorang yang baru jadian atau bahkan kemudian putus menjadi ramai. Semua diumumkan dan tentu saja dengan mudah memancing orang lain untuk ikut berkomentar ramai-ramai. Tentu tidak semua komentar akan bernada baik, sebab banyak pula yang membuat komentar yang bisa mencelakan.
Tapi itulah media sosial dimana kegembiraan dan kesedihan dengan mudah dapat dibagi. Hanya saja ketika saat kita bergembira belum tentu orang lain turut gembira, pun demikian ketika kita sedang galau dan sedih tak otomatis orang lain akan turut meneteskan airmata.
Dunia memang berubah, tetapi cinta tidak. Dalam jaman apapun cinta tetap ada meski bentuk dan ekpresinya berbeda. Media sosial semakin memudahkan mereka yang suka bermain api untuk tebar pesona, berkata dan bertutur manis, menebar janji kosong yang kemudian melahirkan istilah “Penebar Harapan Palsu”. Kehadiran kini digantikan dengan gambar dan teks, yang dengan mudah menjebak mereka yang tak hati-hati namun jatuh hati, mengirimkan berlembar uang lewat ATM, sementara yang dikirimi selalu menolak untuk bertemu dan bertutur melalui telepon. Tak sedikit lelaki memasang DP perempuan cantik, meladeni chat, menjadi “Penebar Horny Palsu” untuk menguras dompet lelaki yang doyan ‘flirting’.
Cinta tetaplah cinta meski kemudian getarannya tak lagi sekencang jaman saya menerima selembar surat cinta dahulu.