Surabaya, 18 September 2025 | Akhir-akhir ini nampak di media sosial, baik pengguna Tiktok, Instagram, WhatsApp mengikuti tren mengedit foto di website atau aplikasi gemini AI dengan beragam prompt. Prompt yang sering diminta adalah foto dengan idola, foto dengan hewan kesayangan, foto dengan diri di masa kecilnya, foto dengan keluarga yang sudah wafat serta beragam prompt menarik lainnya.
Melihat kondisi tersebut, lantas tren ini disebut sebagai kecanggihan zaman yang keren atau justru membahayakan ?
Mari kita lihat dari dua pandangan. Pada sisi baiknya, tren ini mampu memberikan kebahagiaan tersendiri kepada penggunanya. Pengguna mendapatkan hormon kebahagiaan atau yang disebut dengan hormon endorphin (Novianto Novianto, 2024). Selain itu, pengguna bisa mendapatkan bantuan manifestasi secara visual (seperti keinginan manifestasi umroh dan haji, manifestasi memakai gaun pernikahan yang mewah, dan manifestasi-manifestasi lainnya.
Namun, di sisi lain kita juga tidak bisa menutup mata terhadap potensi risikonya. Setidaknya ada tiga bahaya utama:
1. Kebocoran Data Wajah. Foto yang diunggah di internet otomatis melalui proses scanning dan berpotensi disimpan oleh sistem. Data biometrik ini berisiko dijual di dark web dan dimanfaatkan untuk kejahatan digital seperti pemalsuan identitas (identity theft) atau deepfake.
2. Kemalasan Digital. Ketergantungan pada kecanggihan AI bisa membuat seseorang malas untuk berproses secara nyata. Misalnya, lebih sibuk berfoto dengan idola virtual daripada berusaha meningkatkan prestasi agar bisa benar-benar bertemu sang idola.
3. Obsessive Love Disorder (OLD). Tren foto bersama idola atau figur yang disukai bisa memicu obsesi tidak sehat. Individu merasa memiliki kedekatan semu, hingga berpotensi sulit membedakan antara realitas dengan dunia virtual. Selain Obsessive Love Disorder (OLD), risiko lain yang mungkin muncul dari tren edit foto ini adalah Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Berdasarkan penelitian (Muhammad dkk., 2024), OCD merupakan gangguan mental yang membuat seseorang terdorong melakukan tindakan berulang akibat pikiran obsesif yang sulit dikendalikan. Misalnya, seseorang bisa merasa tidak tenang jika tidak mengedit ulang fotonya sampai benar-benar sesuai ekspektasi, atau terus-menerus memeriksa hasil editan tanpa henti. Jika tidak disadari, pola ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari dan menurunkan kualitas hidup.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa tren edit foto AI bukan sekadar hiburan biasa. Ia bisa menjadi sarana kreatif sekaligus ancaman baru jika tidak disikapi dengan bijak. Namun, pilihan tetap ada di tangan pengguna. Tidak ada salahnya mengikuti tren, asalkan tetap menyadari sisi baik dan buruknya. Dengan begitu, kita bisa menikmati keseruan teknologi tanpa kehilangan kendali atas diri sendiri.
Penulis: Nurlaili Firda Yuniar (S-1 PGPAUD UNESA)
Editor: Nurlaili Firda Yuniar (S-1 PGPAUD UNESA)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI