Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Logika antara Asap, KPK, dan Kerja Buzzer

Diperbarui: 18 September 2019   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo meninjau penanganan kebakaran lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, Selasa (17/9/2019). (ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

Silih berganti persoalan berlanjut terjadi. Kini soal asap yang membumbung tinggi akibat kebakaran hutan dan lahan. Dampaknya semua tercemar sekaligus tertutup polusi. 

Begitu juga kabut awan hitam menggantung di langit pemberantasan korupsi negeri ini. Surpres itu sungguh mengejutkan, alias bikin surprise!

Lagi-lagi, netizen menjadi penghakim yang setia. Perdebatan menyeruak, mendadak perselisihan cara pandang kembali dikaitkan dengan perbedaan pilihan politik saat kontestasi. Walhasil, dampak polarisasi tidak kunjung mengalami perbaikan.

Kalaulah kritik dianggap terlalu keras sampai kepada pilihan politiknya, maka istilah nyinyir dipergunakan untuk menyepadankan kritik bagi pemimpin. Padahal kritik menjadi penting untuk merawat nalar, mencegah terjatuhnya kepemimpinan menjadi anti kritik. 

Bahaya bila pemimpin mulai dijauhkan dari kritik terhadapnya. Pemimpin bukan semata soal individu -personal, lebih jauh soal kebijakan -organisasional. Tersebut pemimpin terpilih, diberi mandat untuk mengambil kebijakan bagi semua pihak. 

Sejatinya sebuah kewajaran, bila kritik diluncurkan publik, terutama agar kekuasaan dalam pengambilan kebijakan tidak menjadi salah arah. Kekuasaan absolut akan menjadi sangat otoriter, bila tidak dibarengi dengan kritik terhadapnya. Itulah ancaman bagi demokrasi.

Perkara Asap
Persoalan ini bukan barang baru. Kebakaran hutan dan lahan sudah berulang kali terjadi. Tidak juga ada koreksi dan evaluasi. Banyak pendekatan yang dapat dibaca dari bahaya mengancam bencana asap.

Pada konteks cuaca, dimana kemarau panjang melanda, bahaya kebakaran memang secara potensial mengalami peningkatan. Kita tentu harus lebih sigap dalam mengantisipasi dan berusaha, dibanding menyalahkan kondisi alam.

Pemakaian aspek teknologi untuk melakukan pemetaan hotspot di berbagai lokasi rawan kebakaran harusnya dapat dijadikan sebagai acuan pengambilan kebijakan. Tidak perlu menunggu hadirnya asap, baru bertindak secara reaktif, tetapi sudah terlebih dahulu mempersiapkan model penanganan yang lebih bersifat proaktif.

Kebakaran hutan dan lahan bukan semata soal kondisi iklim dan cuaca yang merupakan aspek alamiah. Kita memahami bila kerusakan dimuka bumi disebabkan tangan-tangan jahil manusia. Maka penegakan hukum harus bersifat komprehensif. Mengapa?

Disinyalir bencana kebakaran merupakan tindakan yang disengaja, sehingga berubah statusnya dari bencana menjadi kejahatan lingkungan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline