Lihat ke Halaman Asli

Yon Bayu

TERVERIFIKASI

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Kita Maklumi Cawe-cawe Presiden, tapi...

Diperbarui: 30 Mei 2023   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi bertemu pimpinan media dan content creator. Foto: Agus Suparto melalui kompas.com

Akhirnya Presiden Joko Widodo membuat pengakuan jujur jika dirinya memang ikut cawe-cawe dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 seperti yang selama ini dipersepsikan oleh sebagian besar masyarakat. Diketahui, dalam beberapa kesempatan Presiden Jokowi secara terbuka meng-endorse Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

Pengakuan Jokowi bahwa dirinya tidak akan netral pada Pilpres 2024 disampaikan saat bertemu pimpinan media dan penggiat media sosial di Istana Merdeka, kemarin.

"Saya harus cawe-cawe," tegas Presiden seraya memberikan alasan, langkah tersebut dilakukan untuk kepentingan negara, bukan kepentingan pribadi atau golongan. Jokowi menolak menjelaskan langkah yang dilakukan dalam rangka mendukung calon presiden (capres) yang akan bertarung pada gelaran Pilpres 2024.

Meski dimaksudkan sebagai klarifikasi atas pernyataan "cawe-cawe" yang dilontarkan Jokowi, penjelasan yang disampaikan Deputi Bidang Protokoler, Pers dan Media Sekretariat Presiden, Bey Mahmuddin kian menegaskan arah dukungan Jokowi.

Menurut Bey, cawe-cawe Presiden dimaksudkan untuk memastikan Pemilu, termasuk Pilpres, berlangsung jujur dan adil, dan menjaga netralitas TNI, Polri serta ASN. Namun Bey menegaskan, Presiden ingin penggantinya dapat mengawal dan melanjutkan kebijakan-kebijakan strategis seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Pengakuan jujur Presiden Jokowi seolah untuk "meluruskan" pernyataan sebelumnya ketika membantah tudingan dirinya ikut cawe-cawe urusan Pilpres usai mengadakan pertemuan dengan pimpinan partai politik pendukungnya di Istana Negara.

Pertemuan tersebut dituding untuk membahas dukung-mendukung Pilpres 2024 karena tidak mengajak Partai Nasdem yang notabene partai pendukung pemerintah. Artinya yang dibahas sangat mungkin bukan terkait program pembangunan. Tudingan itu mendapat pembenarannya ketika Jokowi mengatakan bahwa Nasdem tidak diundang karena sudah punya koalisi sendiri.

Seperti kita ketahui, Nasdem telah membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) bersama PKS dan Partai Demokrat untuk mengusung Anies Rasyid Baswedan sebagai capres.

Kita memahami, Jokowi ingin penggantinya dapat meneruskan program kerjanya, terutama keberlangsungan pembangunan IKN Nusantara. Jika IKN Nusantara mangkrak, maka pemindahan Ibu Kota  dari Jakarta, terancam batal.

Jokowi juga tentu ingin penggantinya bisa mikul duwur mendem jero, mengapresiasi prestasinya, sekaligus mengubur hal-hal yang bermasalah.
 
Sepanjang Jokowi hanya menggunakan pengaruh pribadinya untuk mendukung capres jagoannya, kita masih bisa memahami dan memakluminya. Sebagai petugas partai, Jokowi tentu dibebani kewajiban untuk memenangkan jagoan partainya.
 
Tetapi akan menjadi persoalan serius manakala Jokowi menggunakan pengaruh jabatannya untuk mendukung ketidaknetralannya. Sebab, sebagai Kepala Negara, Jokowi memiliki kewajiban yang lebih besar dari sekedar "tugas partai" yakni untuk bisa bersikap netral dalam rivalitas politik di Pilpres 2024 yang tidak lagi diikutinya. Jokowi harus bisa berdiri di atas semua golongan, semua anak bangsa tanpa melihat preferensi politiknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline