Tak Lagi Bernama
Ada pertemuan
yang tak disebut takdir,
hanya jeda yang terlalu berani
membenturkan dua bayang
yang pernah saling menjadi cahaya.
Kau di sana---
tubuhmu berdiri tegak,
tapi jiwamu gemetar
seperti dahan yang menyembunyikan angin
dalam diam yang memekakkan.
Aku di sini---
tersenyum kepada dunia
dengan raut yang tak menyebut namamu,
tapi dadaku sesak oleh huruf-huruf
yang tak pernah sempat kulafalkan.
Kita bertemu
seperti dua peziarah
yang sama-sama tahu
pernah menyembah di altar yang sama,
tapi kini tunduk pada tuhan yang berbeda.
Ada luka
yang tak perlu darah,
cukup sepasang mata
yang tak saling menyapa,
namun mengucapkan rindu
lebih jujur daripada bibir.
Kau genggam tangan orang lain
seperti kau menggenggam keputusan,
dan aku memeluk seseorang
yang tak tahu,
di dalam pelukanku masih ada namamu
yang belum selesai kutanam.
Tapi bukankah begini kita harusnya?
Dewasa.
Bijak.
Pura-pura utuh,
padahal kita tak pernah betul-betul
selesai satu sama lain.
Dan saat kau berlalu---
mata kita tak bersentuhan,
tapi waktu tahu:
dua jiwa itu saling menoleh
di dalam hati,
berharap satu sama lain kembali,
meski tahu...
tidak mungkin.
Hujan Yang kita Ingat
Kita pernah sebait puisi
yang tak sempat dibacakan takdir
di antara senyum dan tangis
yang kini hanya tinggal jeda---yang hampa.