Lihat ke Halaman Asli

Ketika Flexing Menjadi Budaya Eksistensi Diri Atau Validasi Sosial

Diperbarui: 7 Juli 2025   11:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Di era digital saat ini, media sosial menjadi ruang utama dalam membentuk citra diri. Salah satu fenomena yang kerap muncul adalah flexing, yaitu perilaku memamerkan barang mewah, pencapaian, atau gaya hidup glamor di dunia maya. Meski kerap dikritik sebagai bentuk pamer, penelitian menunjukkan bahwa flexing bukan sekadar soal gaya hidup, melainkan mencerminkan kebutuhan psikologis dan sosial yang lebih dalam.

Dalam pengamatan penulis, flexing sering muncul sebagai bentuk eksistensi diri. Unggahan seperti pencapaian akademik, liburan mahal, atau produk bermerek digunakan untuk menunjukkan keberadaan dan "nilai" seseorang di mata publik. Bagi sebagian orang, ini menjadi cara untuk diakui dan tidak tenggelam di tengah derasnya arus informasi di media sosial.

Namun, flexing juga kerap dilakukan untuk memperoleh validasi sosial. Jumlah "likes", komentar positif, dan pengikut menjadi ukuran seberapa diterima seseorang dalam komunitas digital. Ketika semua itu menjadi tolok ukur harga diri, maka tekanan untuk terus terlihat "sempurna" tak terhindarkan. Hal ini memicu perbandingan sosial yang tidak sehat, stres, bahkan krisis identitas.

Opini publik juga memainkan peran penting dalam menilai perilaku flexing. Beberapa publik figur justru mendapat pujian atas gaya hidupnya, sementara yang lain menuai hujatan karena dinilai berlebihan atau tidak sensitif terhadap kondisi sosial.

Maka dari itu, flexing seharusnya tidak dilihat dari sisi negatif saja. Perlu ada pemahaman yang lebih reflektif: apakah seseorang flexing untuk menginspirasi, atau semata-mata mencari pengakuan? Yang terpenting, masyarakat perlu memiliki kesadaran digital yang kritis. Unggahan sebaiknya tidak hanya mengejar kesan, tetapi juga nilai. Literasi media dan penguatan identitas diri menjadi hal yang krusial. Pengguna media sosial, khususnya generasi muda, perlu dibekali pemahaman bahwa eksistensi sejati tidak ditentukan oleh respons digital semata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline