Lihat ke Halaman Asli

Aksi Cepat Tanggap

Organisasi Kemanusiaan

Demi Keluarga, Damin Mengadu Nasib ke Tengah Laut

Diperbarui: 16 Maret 2021   15:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana di pinggir sungai di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (9/3/2021) sore. (ACTNews/Reza Mardhani)

JAKARTA -- Damin (39) meneduh di sebuah warung di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, usai melabuh. Ia langsung memesan semangkuk bakso lengkap dengan mi instan dan minum air dingin, melepas lelahnya semenjak pagi hari melaut di sekitaran Jakarta Utara pada Selasa (9/3/2021) sore.

"Saya cari kerang buat restoran. Kerang kampak, kerang salju, kerang batik, kerang bambu, ya macam-macamlah. Berangkat pagi pulang siang bersama teman-teman di satu kapal," ungkap Damin.

Penghasilan dari laut tak bisa dipastikan. Menurut Damin, setidaknya satu orang pelaut yang pergi mendapatkan sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu per hari setelah menyetor ke nelayan pemasar.  Dari sanalah ia bisa membiayai ketiga anaknya: dua di antaranya masih bersekolah di bangku SMP dan SD masih menjadi tanggungannya.

Pria asal Indramayu, Jawa Barat ini, telah mencicipi luasnya laut sejak lulus sekolah dasar. Ia pun sudah terbiasa menyelam selama 1-3 jam di kedalaman 4-7 meter menggunakan mesin kompresor. Meskipun merasa terbiasa, ia tetap bertaruh risiko kesehatan setiap kali menyelam.

"Ini aja kita gendang telinga sudah pecah. Jadi air itu suka masuk sampai tenggorokan. Budeg jadinya kalau habis naik air seperti sekarang. Nanti kalau sudah kering airnya, sudah enggak budeg lagi. Kalau yang baru-baru menyelam pasti terasa dampaknya, pusing, telinga sakit. Kalau seperti kita sudah tahunan, jadi enggak ada (terasa efeknya). Terkecuali lagi kena flu, baru badannya dingin," ujar Damin. Bagaimana pun, melaut sudah jadi bagian hidup Damin, untuk tidur pun ia di kapal.

Masih punya cicilan utang

Dua minggu hingga satu bulan Damin akan kembali ke Indramayu. Setiap melaut ia pun teringat keluarga di kampung halaman. "Kalau sudah lama kerja (tidak pulang kampung) gelisah. Mau tidur itu menghayal, ingat ke anak, ke istri. Kalau belum lama melaut mikir untuk ekonomi di kampung. Apalagi kami punya setoran bank," cerita Damin sembari tertawa.

Ia masih punya cicilan utang di bank. Uang dari bank ia gunakan sebagai modal untuk melaut, sebagiannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga terlebih dulu, sebab penghasilan nelayan yang ia peroleh harian dirasa sulit terkumpul.

"Kalau nelayan begini kadang-kadang Rp 100 ribu, Rp 200 ribu, lama bulatnya. Kalau bagi kita orang kecil begitu," ucap Damin. Damon bersyukur, selama ini utang-utangnya masih dapat dicicil dari hasil melaut.

Damin kini hanya berharap sehat. Menjadi nelayan adalah cara satu-satunya ia menafkahi keluarga. "Orang kan enggak mungkin sehat terus, selama kita masih sehat biaya sehari-hari masih bisa tertutup," harap Damin.

Semangkuk bakso dan mi instan datang tepat di depan Damin. Ia meminta izin menghabiskan santapannya sembari menunggu kerang-kerangnya selesai ditimbang dan dibayar atas hasil kerjanya hari itu.[]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline