Lihat ke Halaman Asli

Yasintus Ariman

Guru yang selalu ingin berbagi

Guru Honorer, Bukan CPNS yang Diinginkan tetapi Upah yang Layak

Diperbarui: 13 Mei 2019   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Nasib guru honorer di negeri ini sudah menjadi persoalan klasik namun masih hangat untuk dibicarakan. Mulai dari upah yang sangat memprihatinkan hingga sering menjadi korban kekerasan oleh siswanya sendiri. Karena upanya yang kecil maka ia rentan untuk dihina atau dibuli, hingga akhirnya menjadi guru bukan lagi pekerjaan favorit. 

Ada begitu banyak orang bersuara baik yang datang dari pemerintah, pemerhati pendidikan hingga guru honorer itu sendiri, tentang nasib guru honorer namun belum ada titik terang yang pasti tentang bagaimana jalan keluar yang tepat untuk mengatasinya. 

Persoalan guru honorer yang selalu diangkat ke permukaan adalah menyangkut upah atau gaji yang tidak sepadan dengan pengabdian yang mereka tunjukan. Ketika sekian lama mengabdi dengan gaji seadanya kemudian muncul keinginan berupa tuntutan agar menjadi CPNS. Akar persoalan sebenarnya adalah tentang upah.  

Sejujurnya jika upah yang didapatkan oleh guru atau tenaga honorer itu memenuhi kebutuhan hidupnya, hemat saya jeritan piluh guru honorer itu tidak akan perna ada. Untuk itu ada aspek yang mesti dicermati bersama, antara lain: 

Pertama, Peran Kepala Sekolah

Pada prinsipnya kepala sekolah seorang yang memimpin sebuah lembaga pendidikan. Dialah yang bertanggungjawab secara langsung berkaitan dengan kemajuan sebuah sekolah. Maju mundurnya sebuah sekolah sangat ditentukan sejauh mana kepala sekolah sanggup mengimplementasikan delapan standar kependidikan. Dua standar yang berkaitan langsung dengan masalah guru honorer adalah standar tenaga kependidikan dan standar pembiayaan. Namun seringkali kedua standar ini enggan diperhatikan secara serius oleh kepala sekolah.

Menjamurnya guru honorer sebenarnya tidak terlepas dari peran kepala sekolah. Banyak kepala sekolah yang menerima saja lamaran guru tanpa mempertimbangkan aspek pembiayaan atau keuangan sekolah. Celakanya lagi calon guru yang melamar menerima begitu saja meskipun ia tahu gaji yang ia dapatkan sangat jauh dari kata sejahtera. 

Kepala sekolah merekrut saja guru baru, sambil memberikan harapan bahwa nanti akan diperhatikan oleh pemerintah. Di lain sisi, keterbatasan lapangan kerja di tengah membeludaknya lulusan keguruan, menjadi daya dorong bagi calon guru untuk menerimanya begitu saja. Lebih baik  bekerja saja daripada menganggur. Di sinilah yang menjadi salah satu akar persoalannya.

Kedua, Pengawasan yang lemah

Berkaitan dengan kepengwasan tentu menjadi tugas pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan di daerah. Idealnya pengawas bertugas melakukan pembinaan, monitoring dan pengembangan kualitas sekolah, kinerja kepala sekolah, kinerja guru dan kinerja seluruh staf sekolah. Namun tugas ini terasa belum dimaksimalkan secara baik. 

Padahal setiap sekolah memberikan laporan bulanan yang diberikan kepada dinas pendidikan setempat. Salah satu isi laporan itu adalah tentang keadaan guru dan tenaga kependidikan di sekolah. Sejatinya setiap laporan harus ditindaklanjuti terutama ketika ada kenyataan tentang pembengkakan tenaga guru serta bagaimana anggaran pendidikan (dana BOS) dimanfaatkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline