Lihat ke Halaman Asli

KPK, Niat, dan Vonis LHI

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada pelajaran sangat menarik dari vonis yang di jatuhkan kepada Luthfi Hasan Ishaq,seperti apa yang dituturkan oleh Tifatul Sembiring di harian kompas….KAPAN?

Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS)  itu berharap semua kader PKS mengambil pelajaran dari vonis untuk Luthfi Hasan Ishaaq yakni tidak memiliki niat untuk korupsi.

"Fakta persidangan harus jadi pelajaran semua orang, bahwa berniat pun sudah dihukum. Fakta persidangan, Pak Luthfi tidak terima uang langsung dari Indoguna. Yang terima (uang) Fathanah dan uang itu belum sampai (ke LHI). Kuota impor belum ditambah. Ini pelajaran bagi semua, khususnya bagi kader PKS, harus sangat berhati-hati, berniat saja tidak boleh," kata Tifatul di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/12/2013).

Hal itu dikatakan Tifatul ketika dimintai tanggapan vonis untuk LHI sebesar 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.

Untuk menjerat pelaku tindak pidana, KPK ternyata tidak hanya dengan OOT (operasi tangkap tangan) beserta barang bukti. Kini niat pun bisa menjerat seseorang tersangka atau pesakitan sampai dengan turun vonis. Bisa jadi ke depan akan ada penyadapan terhadap niat seseorang.

Padahal niat itu ada didalam hati seseorang dan yang mengetahui niat seseorang hanyalah dirinya dan Allah SWT. Jadi rasa sulit untuk menilai niat dari sebuah perbuatan seseorang.

Kita akan bisa menilai niat itu ketika sebuah perbuatan dan implikasi sudah dilakukan oleh orang tersebut.

Ada sebuah cerita yang terjadi di masa Rasulullah.”

Dalam suatu perang, ada sahabat Rasulullah yang berduel dengan musuhnya, seorang kafir, dengan sengitnya. Mereka sama jago dan beraninya. Suatu ketika yang muslim

menyerang dan yang kafir menangkis. Tapi di lain waktu yang kafir menyerang dan yang muslim harus menangkis.

Melihat duel yang sengit itu banyak sahabat yang mengelilingi untuk m

engawasinya. Akhirnya suatu ketika pedang si kafir terlempar keluar dan dia jatuh terduduk. Sekarang dia tidak bersenjata. Dia pasti dengan mudah dikalahkan.

Pedang si muslim sudah terayun tinggi, tinggal digerakkan dengan cepat ke leher si kafir. Maka pasti kepalanya tertebas. Namun saat mau mengayunkan turun pedangnya, si kafir bersayahadat. Menyatakan keislamannya. Kalau sudah Islam, maka sudah menjadi saudara. Harusnya dimaafkan. Tidak boleh dibunuh lagi.

Sahabat muslim tidak jadi mengayunkan pedangnya. Teman-tem

annya melihat ini tidak setuju dan berteriak, “Tebas saja. Tebas saja. Dia hanya bersyahadat agar dia selamat tidak kamu bunuh.”

Sahabat muslim bimbang. Apakah harus mengayunkan pedang, karena dia musuh dan teriakan teman-temannya yang mengatakan syahadat sebagai alibi adalah hal yang masuk akal. Tapi kalau dia melakukan, takutnya dia berdosa karena membunuh seseorang yang sudah tobat. Seorang muslim yang harusnya dimaafkan.

Akhirnya sahabat muslim ini memutuskan tidak membunuh si kafir dan hanya menawannya. Teman-temannya tidak puas. Dan sewaktu bertemu dengan Rasulullah,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline