Lihat ke Halaman Asli

Hanif Sofyan

pegiat literasi

Tanpa Filolog, Bahasa Lokal = Dinosaurus

Diperbarui: 29 Januari 2021   23:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: familysearch.org

Sebuah catatan menarik yang diangkat dalam forum Kongres Peradaban Aceh (KPA), dalam konteks penyelamatan bahasa-bahasa lokal adalah kisah seorang profesor Australia Michael Walsh yang 'menghidupkan' kembali bahasa Kaurna, di wilayah South Australia yang terakhir kali digunakan pada tahun 1860-an. 

Salah satu dari 30 bahasa lokal Aborigin yang masih tersisa saat ini dari 250 bahasa berbeda bersama dengan 500-600 dialek sebelumnya yang pernah ada. 

Bahasa-bahasa tersebut hilang ketika kebijakan koloni Inggris memisahkan anak keturunan Aborigin dari keluarganya dan berasimilasi dengan warga kulit putih, menciptakan "Perampokan Generasi", membinasakan bahasa dan budaya asli di abad belakangan. (pbalazhar; 16/11/2010). Bukan tidak mungkin kasus yang sama bisa terjadi dengan sebab yang berbeda di Aceh saja memiliki tak kurang dari 13 bahasa lokal dengan beragam dialeknya. Artinya tanpa kerja filolog dan para pakar kompeten, bahasa lokal bisa bernasib sama dengan punahnya dinosaurus!.

Michael Walsh adalah seorang filolog. Tugas filolog dipandang berat karena ia tidak hanya sekedar menghadapi naskah-naskah yang dipandang sakit dan bahkan kondisinya parah, tetapi ia harus merestorasi atau menyehatkan lebih dahulu melalui kerja filologi. 

Kerja filologi yang dimaksud meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, perbandingan naskah dalam satu judul apabila naskah yang telah didapatkan lebih dari satu judul, penentuan naskah yang akan dijadikan dasar suntingan teks, dan penyuntingan teksnya, proses itu baru tugas pertama filolog dalam penyajian teks (presenting the text) dari panjangnya kerja-kerja yang lebih kompleks. 

Dalam kasus bahasa Kaurna, sang profesor melakukan penelusuran (treasure), kajian mendalam terhadap berbagai literasi yang tersisa untuk menemukan kembali bahasa yang sudah punah tersebut karena penuturnya telah hilang seluruhnya. Sebagai hasilnya, ia menjadi pioner kelahiran kembali bahasa Kaurna keranah kebudayaan Australia.

Kajian menariknya adalah, bahwa ketersediaan literasi, setidaknya menjadi salah satu penjaga dan penunjang kelahiran kembali bahasa-bahasa yang terpinggirkan tersebut.

Diperlukan kerja-kerja simultan baik pemerintah dan pihak yang berkepentingan dengan penjagaan literasi, apalagi menyangkut bahasa-bahasa lokal yang tidak saja unik, namun mewakili ranah kebudayaan sebuah bangsa dan kaum.

Dalam konteks persoalan yang didasari pada kekuatiran punahnya bahasa lokal, Kongres Kebudayaan Aceh yang diinisiasi oleh lintas kalangan menjadi motor yang menggerakkan kembali ingatan kita untuk mencari jawaban atas berbagai kekuatiran terkait persoalan lenyapnya bahasa-bahasa lokal dan upaya mempertahankan keberadaannya.

Keberadaan killing language-bahasa 'pembunuh', dalam hal ini bahasa-bahasa negara atau bahasa nasional yang dominan digunakan. Meskipun dianggap menjadi salah satu pemicu hilangnya bahasa-bahasa lokal, harus melalui kajian mendalam dan disikapi dengan arif. 

Dalam arti bahwa keberadaan bahasa negara sebagai bahasa pemersatu dibutuhkan, namun disisi lain upaya menjaga marwah bahasa-bahasa lokal harus terus dihidupkan inisiasinya agar tidak mengalami kepunahan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline