Lihat ke Halaman Asli

WON Ningrum

Peace of mind, peace of heart...

Cerpen | Pertemuan di Empat Musim

Diperbarui: 8 Mei 2020   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi foto: freepik.com

24 Hadrian Ave. Aku tertegun di depan sebuah rumah berpintu merah tua. Saat itu adalah musim panas di bulan Agustus dengan tiupan angin yang sangat kencang. 

Berkali-kali hanya rasa syukur yang terpanjat dalam hati karena bisa bertahan dari serangan hawa dingin yang masih saja bertiup dengan sweter tipis yang masih melekat di tubuhku. Ah, sebenarnya memenuhi undangan dinner kali ini harus mulus meski tanpa seorang teman pun yang menemaniku dalam perjalanan. 

Toh suasana kota York telah semakin menyatu dengan diriku. Mungkin tak ada salahnya jika aku mencoba mengetuk pintu merah tua itu. Ini adalah rumah kelima yang kudatangi di sore ini. Ada penyesalan yang cukup dalam mengapa alamat temanku itu tidak aku catat atau aku simpan sebagai bekal jika ternyata aku membutuhkannya lagi dan tidak malah tersesat seperti ini.

Ya, mungkin kakiku harus diajak istirahat sejenak. Ada kaitan besi di pintu pagarnya yang terkunci. Namun akan kuberanikan diri untuk berteriak pelan. Hmm, tanam-tanaman yang kurang terawat dengan halaman yang tak seberapa luas. 

Hening, masih ragu untuk membuka kaitan pintu pagar kayu itu. Ya, sedikit ragu untuk masuk ke halaman rumah itu. Namun belum sempat aku berteriak untuk sekedar meminta izin masuk ke pekarangan, pintu rumah itu akhirnya terbuka. 

Seorang perempuan tua keluar dengan langkah pelan sambil menatapku tajam disertai sebuah senyuman yang terasa akrab. Apakah ini yang namanya tipikal orang York yang telah beberapa kali kujumpai di jalan-jalan? Orang York yang terkenal ramah tamah itu? Aku cukup lega. Perempuan tua itu berjalan sangat pelan menuju ke arahku.

Rasa keceleku karena salah alamat lagi kali ini tak berlangsung lama dan akhirnya kutunda untuk mencari alamat temanku yang telah mengundangku makan malam itu. 

Bersapa dan berbicara dengan perempuan tua yang kutaksir usianya pasti telah 90 tahun itu telah merebut rasa simpatiku. Dia memang tipikal orang Inggris yang sangat ramah. 

Ah, dialog dengannya cukup memakan waktu lama. Aku terbius akan keramahtamahannya! Betapa tidak, akhirnya aku berjanji untuk berteman dengannya dan akan mengunjunginya lagi di kali lain. Kami sepakat dan setuju. Namanya Kathleen.

Pikiranku terus melayang ke sosok tubuhnya yang telah tua renta itu setelah kutinggalkan halaman rumahnya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Langit yang masih terang-benderang di musim panas menguntungkan langkah-langkahku malam itu karena belum sedikit pun gelap menghadangku. Rasa penasaran yang tak bertepi masih menghadirkan sosok perempuan tua itu di benakku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline