Lihat ke Halaman Asli

Wiwied Tuhu. Prast

pekerja sosial/advokat/wiraswasta

Wendit, Khasanah Sejarah ke Tragedi Eksploitasi Ekonomi

Diperbarui: 9 September 2025   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokumen pribadi pelengkap artikel

Sejarah Wendit bermula jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum Majapahit berjaya. Prasasti Balingawan yang berasal dari tahun 891 Masehi, zaman Kerajaan Medang di bawah pemerintahan Mpu Sendok, menetapkan kawasan ini sebagai sima atau tanah perdikan. Status ini diberikan sebagai pengakuan atas nilai spiritual, ekologis, dan sosial yang melekat pada mata air Wendit. Sebagai tanah perdikan, Wendit bebas dari pajak dan memiliki otonomi untuk mengelola diri sendiri, sebagai sebuah bentuk pengakuan negara terhadap kearifan lokal dan hak masyarakat adat kala itu.

Selama berabad-abad, Wendit bukan hanya sekadar sumber air, tetapi juga menjadi pusat ritual, peribadatan, dan kehidupan komunitas. Masyarakat setempat percaya bahwa mata air ini merupakan anugerah dari lereng Gunung Semeru yang mengalir melalui tanah dan muncul di Wendit. Kawasan ini dihuni oleh kera ekor panjang yang dianggap sebagai bagian dari ekosistem suci, serta memiliki punden, petilasan, dan pendopo yang menjadi situs spiritual bagi masyarakat dari berbagai daerah, termasuk masyarakat Tengger yang rutin berziarah.

Namun, pada tahun 2024, warisan sejarah dan hak-hak masyarakat adat itu nyaris punah akibat eksploitasi besar-besaran yang dilakukan oleh PDAM Kota dan Kabupaten Malang. Sejumlah peneliti dari Universitas Negeri Malang (UM) mengungkap bahwa pendekatan pembangunan yang dipaksakan telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat, merusak lingkungan, dan mengikis nilai-nilai budaya yang telah hidup selama ribuan tahun.

Tercatat eksploitasi mata air Wendit dimulai pada tahun 1978, ketika PDAM Kota Malang memasang pipa dan broncap untuk mengambil air guna memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Malang. Sejak itu, setidaknya lima kali eksploitasi dilakukan dengan debit yang jauh melampaui batas wajar, mencapai 900 liter per detik, padahal kapasitas yang diizinkan semestinya hanya sekitar 200--480 liter per detik. Data penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 2015, eksploitasi kembali dilakukan tanpa memperhitungkan dampak ekologis dan sosial.

Pada tahun 2019, Pemerintah Kabupaten Malang menerbitkan sertifikat hak milik atas kawasan Wendit, mengubah status tanah ulayat menjadi aset pemerintah. Keputusan ini tidak hanya mengabaikan sejarah Wendit sebagai tanah perdikan, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip pengakuan hak masyarakat adat yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 18B dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dampak lanjutan sertifikasi tanah oleh Pemkab Malang pada tahun 2019 seperti mengesampingkan status historis Wendit sebagai tanah ulayat, masyarakat adat yang seharusnya menjadi pemegang hak ulayat justru ditempatkan sebagai pihak yang tidak memiliki suara dalam pengelolaan Kawasan, dan inilah sebenarnya suatu  bentuk land grabbing yang dilegalkan melalui kebijakan sepihak.

Air yang seharusnya menjadi milik bersama dan dikelola secara berkelanjutan justru dieksploitasi untuk kepentingan komersial tanpa kompensasi yang adil, hal ini karena masyarakat sekitar Wendit menjadi kesulitan mendapatkan akses air bersih, sementara PDAM mengambil air dalam jumlah besar untuk didistribusikan dan dijual dengan nilai berlipat-lipat ke wilayah lain.

Tidak kalah tragis, dengan pembangunan tembok tinggi dan penerapan tiket masuk yang mahal, telah membatasi akses masyarakat ke situs-situs spiritual seperti punden dan petilasan, dan ahirnya tradisi nyekar dan ritual lainnya yang telah berlangsung selama ratusan tahun terancam punah.

Eksploitasi air menyebabkan penurunan debit mata air, kerusakan vegetasi, dan terganggunya habitat kera ekor Panjang, dampaknya, kera-kera tersebut masuk ke pemukiman warga dan merusak property, dan kabarnya saat ini menjadi lebih tidak terurus.

Berdasarkan tren yang terjadi, jika eksploitasi terus berlanjut tanpa intervensi hati Nurani hanya berperspektif ekonomi, maka pada tahun 2025 Wendit akan menghadapi krisis yang lebih parah, debit air akan semakin menyusut, mengancam pasokan air bersih bagi masyarakat sekitar. vegetasi dan habitat kera akan menjadi cerita masa lalu, dengan konflik sosial akan semakin membara akibat ketidakadilan dalam distribusi air dan sumber daya, demikian halnya nilai budaya dan spiritualitas Wendit menjadi terpinggirkan oleh kepentingan ekonomi dan politik.

Semoga bukan hanya mimpi, akan adanya suatu pendekatan yang menghormati hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan, dengan pengakuan resmi atas status masyarakat adat wendit, atau minimal mengakui hak ulayat dan melibatkan pemangkunya dalam pengelolaan Kawasan, sebab Wendit harus dikelola sebagai kawasan budaya dan ekologi, bukan sekadar objek eksploitasi ekonomi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline