Lihat ke Halaman Asli

Winny Gunarti

Penulis, Peneliti, Pengajar di Universitas Indraprasta (UNINDRA) PGRI, Jakarta

Taragak Basuo Sadonyo, Rindu ke Kampung Halaman

Diperbarui: 7 Juli 2021   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jam Gadang di Bukit Tinggi-dokpri

Tradisi mudik Lebaran telah tiba. Berhimpitan di sarana transportasi, bermacet-macetan di jalanan, belum lagi ongkos pulang yang menguras kantong, menjadi catatan keluh kesah perjalanan yang akhirnya menguap tergantikan euforia menuju kampung halaman demi bertemu sanak saudara. Inilah fenomena unik di bulan Ramadhan yang senantiasa mewarnai kehidupan  masyarakat Indonesia

Kampung halaman telah menjadi satu kata yang menyiratkan makna tentang sebuah ruang masa lalu dengan sejumlah kenangan (indah) yang pernah dialami setiap individu bersama keluarga. Meski kemajuan pembangunan telah menyulap suasana kampung tradisional menjadi wilayah bernuansa perkotaan, makna kampung halaman dengan segala atributnya seolah tak lekang oleh zaman.  

Baca juga :Larangan Mudik di Masa Pandemi

Istilah 'mudik' yang berasal dari bahasa Jawa mulih dilik (pulang sebentar), kerap menggelitikkan pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun: Kenapa kita selalu rindu akan 'pulang'?

Agus Maladi Irianto dari Universitas Diponegoro, mengaitkan mudik dengan persoalan keretakan budaya, terutama ketika para pekerja yang mengadu nasib di kota, harus menghadapi aturan-aturan dari para pemilik modal sebagai penguasa  perusahaan tempat mereka bekerja yang kadang tidak sesuai dengan harapan.  

Baca juga : Kontra dengan Mudik Lebaran di Masa Pandemi

Secara hermeneutis, mengutip dari pemikiran Kuntowijoyo (2006), ia pun menuliskan mudik sebagai  proses pengembalian diri  "ke arah kebeningan hati, kedamaian laku, dan kepedulian terhadap soal kemiskinan".  

Atau dengan kata lain, mudik menjadi ruang dan waktu untuk menghibur diri setelah mengalami tekanan-tekanan hidup. Mudik menjadi peluang untuk berbagi dengan sesama, menularkan pengalaman hidup, sekaligus membangun suasana lain yang lebih optimis.

Fenomena mudik tak pernah bisa dilepaskan dari dampak peristiwa migrasi, khususnya ketika para penduduk desa berupaya mencari kehidupan yang lebih baik di kota.  Makna "lebih baik" lantas diukur dari kesuksesan memperoleh harta benda dan meraih jabatan saat bekerja. Mereka yang dalam perjuangannya ternyata tak berhasil mencapai ukuran 'kesuksesan' ini, tak jarang  mengalami keterasingan diri, bahkan depresi. 

Baca juga : Pelarangan Mudik di Masa Pandemi

Ada yang memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, ada juga yang tetap bertahan dengan harapan memperoleh perubahan nasib. Tak sedikit mereka yang tetap merantau, menjalani hidup bak air mengalir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline