Lihat ke Halaman Asli

Wijanarto

Penikmat Sejarah Alumnus Magister Sejarah Undip Semarang

Surat-surat Abadi

Diperbarui: 4 Maret 2020   20:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

goodreads.com

Surat tak sekadar suatu komunikasi personal yang intim. Dari surat ternyata menghadirkan narasi keabadian yang bisa dipelajari dalam dimensi kekinian. Pada sebuah surat ia menceritakan ruang terbuka yang bisa dibaca siapapun. Menciptakan dinamika pemikiran, konstelasi sosial masyarakat pada zamannya sekaligus melambungkan person yang menulisnya. Seperti panggung epik bagi penulisnya. Surat-surat sebagai komunikasi juga menciptakan nilai sastrawi.

Komunikasi surat mencuatkan nilai kearsipan historis, mewariskan jejak nilai informasi yang berharga. Ini yang menjadikan surat-surat tersebut abadi tak lekang digerus zaman. Meski korespendensi surat simbol keintiman yang subyektif, tak dapat disangkal ia adalah pewarta zaman yang mengungkap sisi dari pandangan seorang individu tentang berbagai hal. Apa yang diungkapkan Frans. M. Parera saat memberikan pengantar buku Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966 (1986) membenarkan:

Surat-surat dari individu-individu pada umumnya berisi hal-hal yang subyektif, rahasia-rahasia diri yang hanya dibuka pada orang-orang lain dalam lingkungan yang terbatas.

Dalam keintiman personal, surat menciptakan imajinasi pembacanya tentang perilaku pemikiran serta dinamika sosial masyarakat dari pandangan penulis surat. 

Surat-surat sastrawan Iwan Simatupang kepada B.Soelarto dalam Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966 (1986), menyiratkan kegelisahan psikologis, seperti yang ia ungkapkan tentang kesetiaan memilih profesi sastrawan / budayawan sekaligus penyesalannya tak memenuhi harapan orang tuanya:

.....dan Iwan de schrijver mulai jadi ougelevigo katholiek. Dia menganggap dunia suatu biara besar. Sesama manusia dianggapnya sesama biarawan yang juga seperti di disebabkan tragedi tertentu dalam hidupnya terdampar masuk biara. Pada Iwan tragedi itu adalah : rasa menyesal telah tidak memenuhi keinginan famili dan orang tuanya untuk menjadi seorang dokter yang baik, pintar, yang keras cari uang banyak-banyak, untuk kawin dengan gadis Tapanuli baik-baik, punya rumah gedung besar, depannya papan : dr. Iwan Simatupang, internist gyanaecoloog.

Surat tertanggal 12 Desember 1968, memposisikan situasi kejiwaan seorang Iwan Simatupang sebagai seorang introvert yang menjadi penyebab kegagalan studi di kedokteran.

Surat-surat Iwan Simatupang tak menceritakan sisi intim pribadi. Bagi yang membaca surat-surat Iwan Simatupang, komunikasi surat itu tak hanya ditujukan pada B. Soelarto, tapi surat-surat tersebut telah menjadi pamflet umum seorang Iwan dan sikap politiknya serta reaksi intelektual Iwan terhadap situasi sosial politik Indonesia saat itu. 

Surat menjadi menjadi medan dialog tak hanya bagi seorang Iwan Simatupang. Surat-surat melankolik platonik penyair Kahlil Gibran kepada May Zaiadah maupun surat-surat Martin Heidegger dengan Hannah Arendt sebagai contohnya keintiman medan dialog.

Sama seperti Iwan Simatupang, surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, Abendanon atau Ovink Soer, tak sebatas reaksi pesona komunikasi hangat antarpersonal. Melainkan reaksi emosional Kartini sebagai gadis bangsawan terkait dengan pergulatan yang ditumpahkan pada komunikasi surat yang sarat emosional. Ini terlihat curhat Kartini pada Stella ihwal sikap kesetaraan:

Aku rasa tidak ada hal yang lebih menggelikan dan bodoh dari pada orang yang membiarkan dirinya dihormati hanya karena dia keturunan bangsawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline