Lihat ke Halaman Asli

Bambang Wibiono

Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Selamat Jalan Mamah (8/Selesai)

Diperbarui: 26 Juni 2020   07:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sekitar jam 10 pagi Papah datang lagi ke rumah sakit.

"Mah, kenal gak ini siapa?" sambil menunjuk dadanya sendiri.

"Papah, hehe.." Mamah menjawab nyengir.

"Kirain gak kenal," ucap Papah.

Kuceritakan hasil pemeriksaan dokter tadi pagi. Papah meminta pendapatku tentang Mamah. Papah juga meminta pendapat Mamah mau dibawa ke Bandung atau tidak. Tapi Mamah geleng kepala. Mamah minta pulang saja. Aku pun begitu. Ngapain juga dibawa ke Bandung, pikirku. Selain memang benar-benar tidak ada biaya, juga tidak jelas kenapa harus dirujuk jauh-jauh. Mending di rumah atau di sini aja agar bisa dapat infus supaya tidak lemas.

Papah pun kembali ke kantor meminjam mobil untuk bawa pulang Mamah dan meminta pendapat teman-teman kerjanya. Maklum, dalam kondisi kalut seperti ini, perlu meminta pendapat banyak orang karena mereka yang bisa berpikir lebih jernih dan punya berbagai sudut pandang.

Hari itu aku tidak solat Jum'at. Aku lebih memilih berada di samping Mamah. Karena di sini perempuan semua yang tidak mungkin dan tidak mengerti cara merawat Mamah. Terlebih lagi kalau minta kencing atau buang air besar. Aku putuskan untuk tidak solat Jum'at. Semoga Allah mengampuni.

Setelah selesai solat Jum'at dan Papah datang, kondisi Mamah semakin menghawatirkan. Mamah seperti sakaratul maut. Sebelumnya, Mamah memanggil semua nama anak-anaknya. Papah pun akhirnya menelpon Budi, adik pertamaku yang sedang kuliah, untuk segera pulang ke Kota Udang siang itu juga, karena cuma Budi yang tidak ada disini.

Ketika Purnomo, Widia datang, Mamah tidak mengenali. Hampir semua yang ada di situ menangis, mungkin cuma aku yang tidak menangis. Aku hanya senyum memandangi wajah teduhnya yang sedang merintih. Entah kenapa Aku merasa itulah hari terakhir bisa melihat wajah Mamah. Aku bisikan di telinga Mamah bacaan syahadat.

"Mah, Mamah masih dengar suara Wibi kan? Kalo masih dengar, ikuti suara Wibi ya?"

"mmmhh ... Iyaaa," jawab Mamah sambil merintih dan mata terpejam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline