Lihat ke Halaman Asli

Weinata Sairin

Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Refleksi Alkitab: Kualitas Persembahan

Diperbarui: 10 Oktober 2021   08:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

REFLEKSI ALKITAB : KUALITAS PERSEMBAHAN

Oleh Weinata Sairin

"Apabila kamu membawa seekor binatang buta untuk dipersembahkan, tidakkah itu jahat? Apabila kamu membawa binatang yang timpang dan sakit, tidakkah itu jahat? Cobalah menyampaikannya kepada bupatimu, apakah ia berkenan kepadamu, apalagi menyambut engkau dengan baik? Firman Tuhan semesta alam." (Maleakhi 1:8)

Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah memiliki relasi yang khusus dan spesifik dengan Allah, Khalik Pencipta Alam Semesta. Relasi itu dilakukan dalam ibadah, pada saat berdoa dan memuji nama Tuhan, pada saat memberikan persembahan, atau bentuk-bentuk lain yang diatur oleh Gereja yang di dalamnya kita mampu mewujudkan relasi dengan Allah.

Kesemua wujud dan bentuk relasi itu seharusnya terjadi dengan sangat baik dan optimal, dan sebagai cerminan rasa syukur kita kepada Tuhan Allah yang telah menganugerahkan keselamatan kepada umat manusia.

Misalnya, kita harus menyanyi dengan kaidah-kaidah standar: suara tidak sumbang, sesuai dengan partitur lagu, volume suara yang memang sesuai dengan kebutuhan ibadah. 

Jangan kita beranggapan menyanyi untuk Tuhan itu tidak perlu bagus, yang penting iman kita. Anggapan ini tidak berdasar, sebab menyanyikan nyanyian Gereja sebagai bagian dari liturgi/ibadah harus dilakukan dengan sangat baik, optimal; devosional dan juga khidmat.

Pendeknya, semua unsur-unsur liturgi yang ada dalam tata ibadah itu kita baca/lakukan dengan sangat-sangat baik sehingga ibadah itu terasa benar-benar sebagai sebuah 'dialog interaktif' antara kita dan Allah, dan ada kesegaran baru yang kita nikmati dari ibadah yang durasinya lebih kurang satu jam itu. 

Kita tidak merasa bosan atau hampa dalam ibadah itu. Sebaliknya, kita akan merasakan energi baru dalam diri sebagai bekal memasuki dunia yang penuh turbulensi di minggu depan.

Ibadah kita terasa kering dan hampa, bahkan membosankan, apabila unsur-unsur liturgi itu semua dibaca secara mekanis, tanpa aksentuasi dan penghayatan. 

Banyak terjadi slip of the tongue pada saat pemimpin membaca, salah ketik dan salah kutip nyanyian dalam lembar liturgi, dan Paduan Suara yang tidak dipersiapkan dengan lebih bagus. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline