Lihat ke Halaman Asli

Moh Wahyu Syafiul Mubarok

Part time writer, full time dreamer

Quo Vadis Pajak Karbon

Diperbarui: 23 Januari 2022   12:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Copyright (c) 2019 DesignRage/Shutterstock

Dalam perspektif bernegara, satu alat yang sering dijadikan pilihan untuk memantik perubahan di tengah masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan fiskal. Sebuah intervensi undang-undang yang berasaskan kesepakatan antara regulator dan masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. 

Salah satu perundangan yang cukup menarik perhatian saya di kuartal akhir 2021 adalah UU No. 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan. Tentu, karena produk legislasi tersebut turut menyoal pajak karbon. Sejatinya, ide untuk memberikan harga terhadap karbon yang diproduksi oleh manusia adalah diskursus lama sebagai salah satu inisiasi untuk menyelamatkan bumi.

Bagi saya, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) adalah bentuk keadilan antargenerasi. Terlepas dari potensi penerimaan negara, UU HPP perlu ditekankan dalam konteks pengendalian perubahan iklim. Sebuah laporan dari World Bank (2019) menyebut bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak perubahan iklim. Definisi kerentanan dari laporan tersebut mengacu kepada mereka yang tinggal di daerah rawan dan masyarakat miskin (2.5 -- 7% dari PDB).

Keberadaan UU HPP dapat menjadi salah satu bentuk mitigasi serta adaptasi, guna menekan risiko krisis iklim terhadap perekonomian. Indonesia sendiri telah memiliki Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim dengan dengan beragam strategi pembiayaan, baik melalui skema pendanaaan publik (APBN/APBD) hingga skema inovatif lainnya. Dan carbon pricing maupun carbon tax adalah praktik pendanaan inovatif yang sudah banyak diimplementasikan di banyak negara.

Skema tersebut menganut filosofi polluters-pay principle. Secara bersamaan, pajak karbon juga turut berfungsi sebagai instrumen perilaku (changing behavior) guna mengalihkan aktivitas masyarakat yang rendah karbon dan lebih ramah lingkungan. Dalam implementasinya, pajak karbon berada di bawah payung Perpres No. 98 tahun 2021 mengenai Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Hal ini sebagai bagian dari pungutan atas karbon yang bersanding dengan skema pasar karbon. Harapannya agar tingkat emisi yang dihasilkan tetap terjaga di level tertentu.

Kita perlu menyadari, bahwa intervensi kebijakan ekonomi dalam pengendalian krisis iklim adalah wujud internalisasi emisi ke dalam sistem perekonomian, agar lebih terukur dan efektif. Bagaimanapun, emisi karbon adalah dampak eksternalitas negarif bagi lingkungan, perekonomian, dan kesehatan. Dan para pengamat menyebut bahwa mekanisme pasar karbon adalah metode yang efektif untuk pemberian nilai selama proses internalisasi tersebut. Sejauh ini, pemerintah menetapkan Rp. 30/ kilogram (USD 2.1/ ton) CO2 sebagai nilai minimal di tahap awal, dengan evaluasi secara berkala.

Keberadaan skema pajak karbon sudah barang tentu bermuara pada Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia. Kita sudah berjanji untuk mereduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% (834 juta ton CO2) melalui skema Business as Usual (BAU) dengan usaha sendiri pada 2030, serta 41 % (1.185 juta ton CO2) dengan dukungan internasional. Target tersebut juga senada dengan Rencana Pembangunan Jangka Mengenah Nasional (RPJMN) mengenai pembangunan rendah karbon. 

Semoga, keberadaan UU HPP dan Perpres NEK dapat mengakselerasi target Net Zero Emission (NZE) lebih awal dari 2060, serta menjadi faktor penting untuk pemulihan ekonomi Indonesia yang lebih berkelanjutan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline