Lihat ke Halaman Asli

Wahyudi Adiprasetyo

Sang Pena Tua

Public Speaking Pejabat; Antara Rasa Bisa dan Risiko Salah Bicara

Diperbarui: 11 September 2025   06:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Publik tentu masih ingat beberapa pernyataan pejabat yang sempat menimbulkan kontroversi. Ada yang menyebut harga makanan "murah" padahal tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Ada juga yang menyarankan masyarakat "menjual barang pribadi" untuk bertahan hidup di tengah krisis. Contoh lain, seorang pejabat pernah salah menyebut data jumlah korban bencana yang justru melukai perasaan keluarga korban. Pernyataan-pernyataan spontan seperti itu, meski mungkin tidak dimaksudkan negatif, bisa menjadi bola liar di masyarakat dan akhirnya merugikan pejabat itu sendiri.

Kelemahan seperti ini sering muncul karena pejabat merasa sudah mahir berbicara. Mereka terbiasa membuka acara, memberikan sambutan, atau menyampaikan arahan panjang. Namun, public speaking di podium berbeda jauh dengan menjawab pertanyaan wartawan yang kritis atau menghadapi publik yang sedang marah. Di era digital, satu kalimat bisa dipotong, diviralkan, dan ditafsirkan tanpa konteks. Akibatnya, yang tersisa di ingatan publik bukan maksud baiknya, melainkan salah ucapnya.

Apa yang bisa dilakukan untuk menghindari jebakan ini?

  1. Rendah hati untuk belajar kembali. Banyak tokoh dunia pun melatih diri secara rutin. Barack Obama, misalnya, selalu menonton rekaman pidatonya untuk mengevaluasi ekspresi, intonasi, dan pilihan kata. Di Indonesia, pejabat bisa meniru langkah serupa dengan mengikuti media training atau pelatihan komunikasi krisis. Ini bukan sekadar "kursus bicara," tapi strategi menjaga kredibilitas.

  2. Menguasai substansi dan kata kunci. Salah satu kesalahan terbesar pejabat adalah berbicara spontan tanpa kerangka. Misalnya, ketika ditanya tentang kenaikan harga, cukup jawab dengan tiga hal pokok: data, langkah pemerintah, dan pesan empati. Jawaban singkat namun fokus lebih aman daripada kalimat panjang yang berisiko menyinggung.

  3. Mengoptimalkan juru bicara. Tidak semua pertanyaan harus dijawab langsung oleh pejabat. Presiden, menteri, atau kepala daerah bisa menyerahkan detail teknis pada jubir yang memang dilatih menyampaikan informasi dengan tepat. Cara ini lazim dilakukan pemimpin besar dunia. Mereka hanya bicara soal visi dan kebijakan strategis, sementara detail teknis dijaga konsistensinya oleh jubir.

Public speaking pejabat sejatinya bukan hanya keterampilan teknis, melainkan tanggung jawab moral. Kata-kata pejabat adalah representasi negara, institusi, dan rakyat yang diwakilinya. Satu kalimat bisa memperkuat kepercayaan publik, tetapi satu kalimat pula bisa menghancurkannya. Karena itu, rendah hati untuk terus belajar dan bijak memilih kata bukan sekadar keharusan, tapi juga bentuk penghormatan kepada masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline