Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Sapta

TERVERIFIKASI

Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Pagiku Tak Lagi Secerah Rupawan

Diperbarui: 27 September 2021   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi: Kompas.com/Lucky Pransiska

Pernah aku katakan padamu, bahwa pagi akan menjadikanmu lebih rupawan. Semburat cerah wajahmu pancarkan indah tersentuhnya.

Hei, diriku! Nikmati pagimu. Hirup ia sepuasmu. Cerahkan harimu, lalu katakan: "Ini aku! Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tak ada yang lebih indah, saat bergumul dengan pagi hari."

Lalu, pagi yang selalu cerah dimataku, kunikmati hari yang berulang, namun mengapa tak secerah biasanya? 

Pagi ini lebih panas. Udara dingin menguap entah kemana. Membuatku merasa lebih gerah. 

Aku menuju ujung sana, yang biasanya rimbun oleh pepohonan. "Ah, benar saja, pohon telah menghilang!" Pantas saja panas tak terserap oleh sejuknya dedaunan pohon-pohon. 

"Siapa yang telah menebangnya? Apa salah pohon? Bahkan ia telah memberikan kesejukan. Tapi mengapa dianggap mengganggu? Demi apa?"

Ah, ya. Pengembang baru saja datang, merasa bahwa lahan itu miliknya, maka ia berhak atas pohon-pohon itu. Lalu, siapa yang dipersalahkan? Ketika lahan resapan, tak lagi bisa berfungsi?

Aku tak bisa membayangkan jika kemudian turun hujan, datang tiba-tiba. Akar pohon tak lagi bisa menahan laju derasnya, hingga banjirpun tak bisa ditolak. Air akan memenuhi area sekitarnya. Membenamkan segalanya. Juga kenangan indahku tentang pagi.

Huh, asap pun menjulang tinggi menuju lapisan ozon. Menyesakkan pagiku yang biasanya segar oleh harumnya dedaunan. Pohon-pohon mulai terbakar, kemudian memberangus ranting-ranting. Menghitamkan dedaunan. 

Kratak... kratak...!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline