Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Sapta

TERVERIFIKASI

Penulis #Peraih Best In Fiction Kompasiana Award 2018#

Cerpen | Senja Baru Saja Memberikan Pelukan

Diperbarui: 30 Agustus 2018   19:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: dok. Wahyu Sapta

Memang serba salah rasanya tertusuk panah cinta. Aku tak pernah membayangkannya. Ia datang tiba-tiba. Seperti perahu, terombang ambing ombak di tengah lautan, oleh angin yang datang tiba-tiba. Mencari daratan, tapi tak tahu arah yang di tuju. Kau menuju ke mana? Tanya hatiku. Ke arahmu? Jawabku sendiri sambil bertanya.

Atau angin yang bertiup sepoi, membawa remahan debu, yang membawa pesan. Cinta? Lalu, menujumu? "Ah, aku tak bisa memastikannya," kata dalam hatiku.

Mungkinkah bagai relaksasi rasa, membuat deburan, percikan lalu remahan angin, membawa: cinta. Menujumu?

Ada enam petunjuk, jika semua rasa itu mengarah kepadamu. Aku bahkan tak mampu mencernanya, hingga aku bagai tak mempercayai diriku sendiri.

Pertama, ketika tiba-tiba saja, saat aku pergi ke pantai, bertemu kamu.

Saat itu... di sini. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang menyeruak dari dalam hati. Rasa pilu dan membuat sedikit nyeri. Aku seperti mengenalmu lama. Tapi aku belum pernah sekalipun bertemu. Hingga detik ini. Seperti de javu, aku bagai mengulang kembali sebuah pertemuan. Entah di mana. Sama persis. Tetapi, aku bahkan belum tahu siapa namamu. Kamupun seperti mengenalku. Dan jelas tampak dari rasa heran raut wajahmu.

"Apakah aku mengenalmu?" tanyamu.

"Entahlah, mungkin kita pernah bertemu sebelum ini. Tetapi, di mana?"

Kau menggeleng keras. Jelas saja kau tak mengenalku. Kita belum pernah bertemu.

Kedua, ketika tiba-tiba saja aku bertemu denganmu kembali. Di sebuah angkutan umum. Yang dikemudikan oleh sopir setengah baya berambut putih hampir memenuhi kepalanya. Penumpang hanya ada dua, aku dan kamu. Padahal perjalanan masih jauh. Hingga tiba tempat yang kutuju, hanya ada aku dan kamu. Aku turun. Kau juga turun. Sopir setengah baya yang berambut putihpun berkata, "Cieee.. kompakan. Kalian mirip. Pasti berjodoh."

Tentu saja pipiku memerah. Bahkan saat itu kita belum saling menyebutkan nama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline