Lihat ke Halaman Asli

30 Hari Penuh Berpuasa

Diperbarui: 15 Juni 2022   17:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Oleh : Vera Syukriana

Berawal dari pertemuanku dengan orangtua asuh yang membiayai sewaktu kuliah dari D2 ke S1. Seperti biasanya, menjelang ramadan, aku dan keluarga menemui Bunda(panggilan orang tua asuhku) dalam hal saling bermaafan dan temu kangen.

Aku membawa anak pertama yang baru berumur 2 tahun 8 bulan, Umar namanya. Bunda mengomentari wajahku yang masih berjerawat padahal sudah bersuami. Biasanya, jerawat itu akan hilang jika kita sudah bersuami. Bagiku itu hanya pemikiran orang lama. Namun bunda melanjutkan pembicaraan dan menanyakan dengan serius, "Era pasang KB?"

Aku menjawab sambil tersenyum, "iya, Bun."

Bunda langsung menceramahiku dan menyampaikan kalau ini hal yang tidak baik. Sama halnya kita menghambat rezeki dari Allah. Yang dikhawatirkan bunda, aku akan sulit mendapatkan keturunan anak kedua karena sudah melawan kodrat Allah SWT.

"Bunda sarankan, segera buka KB dan program anak kedua."

Aku dan suami merasa bersalah atas hal yang sudah kami perbuat. Nasehat bunda ada benarnya. Namun salah satu alasanku memasang KB karena aku dan suami yang tinggal berjauhan (LDR bahasa jaman now). Aku berdua hidup di daerah perantauan tanah pengabdian Lumindai, sedangkan suami tinggal di Padang Panjang karena ada usaha yang sedang dijalankan. Kami khawatir nanti hamil terlalu cepat sedangkan Umar belum mandiri.

Temu kangen hari itu berakhir setelah Umar merengek minta pulang. Kami berpamitan dan bunda tetap menyarankan yang disampaikannya tadi. Kami melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman. Menjelang sampai, kami berdiskusi dan suami membenarkan yang disampaikan bunda. Kami mengikuti saran bunda dengan siap menerima konsekuensinya ke depan.

Sore itu, kumenemui bidan dan membuka KB. Kami merasa lega dan berharap dihadirkan buah hati kedua. Malam pertama ramadan kami lalui dengan hati tenang dan memohon ampun jika tindakan selama ini salah. Bagi kami hanya Allah yang tau setiap isi hati dan rencana hambanya. Aku yakin, ini jalan terbaik.

Aku dan suami beserta anak pertama menjalankan puasa ramadhan penuh kegembiraan. Tak ada rasa bersalah lagi. Mungkin jika aku dan suami tidak menemui bunda, maka aku tidak akan menerima nasehat berharga ini.

Sehari sebelum lebaran, kebiasaan di kampung membuat lamang. Setelah itu berbuka bersama dengan keluarga besar dihari terakhir ramadan. Suami berbisik, "puasa umi penuh ya ramadan sekarang."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline