Lihat ke Halaman Asli

Abdisita Sandhyasosi

Penulis buku solo "5 Kunci Sukses Hidup" dan sekitar 25 buku antologi

Hadiah Buat Hari Ibu

Diperbarui: 23 Desember 2022   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Perjalanan hidup setiap orang adalah unik dan  menarik. Begitu pula perjalanan hidup ibuku, seorang perempuan yang rela meninggalkan kariernya sebagai  kepala keuangan  sebuah perusahaan BUMN di Surabaya, karena suaminya alias ayahku yang saat itu bekerja di sebuah instansi memerintahkannya berhenti bekerja  agar ibuku  fokus mengurus keluarga. Apalagi kala itu aku dilahirkan ibu sebagai bayi prematur.

Menanam padi. Dokpri.

Ibuku adalah  yang pertama kali mengajari aku menulis, setidaknya buku harian yang berisi catatan pemasukan, pengeluaran dan saldo kas serta kegiatan pada hari itu.

Ibuku pernah masuk Rumah Sakit Jiwa. Tepatnya,  Poli Jiwa RSUD Dr Soetomo Surabaya. Bukan karena ibu mengalami gangguan jiwa  melainkan karena Ibu mengantarkan orang  yang sedang mengalami gangguan jiwa atau schizophrenia  berobat.

Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)  itu hampir setiap hari datang ke rumah kami. Awalnya suka marah-marah. Kadang-kadang kalau sudah mengalami halusinasi, tiba-tiba ia mengambil benda tajam misalnya parang dan siap-siap membunuh orang  yang ada di depannya. Kemudian, setelah mendapatkan penanganan dari poli jiwa, ODGJ tersebut tidak lagi agresif alias jinak.

ODGJ itu hanya mengomel-ngomel  di depan ibu selama  berjam-jam. Terkadang sampai seharian. Tidak ada orang di rumah yang sanggup menghadapinya kecuali Ibu. Dan ibu biasanya diam  saja mendengarkan omelannya sambil mengerjakan sesuatu, misalnya, mencuci baju, mencuci piring, atau mengulek bumbu.

Sesekali Ibu menanggapi perkataan ODGJ itu dengan ya. Kalau ODGJ  kelihatan lapar atau minta makan maka  Ibu segera memberinya makan sebelum ia mengamuk. Biasanya sepiring nasi 'munjung' dengan lauk tempe dan sambal kecap yang diberi irisan cabe rawit. Dalam waktu singkat nasi  sepiring itu sudah habis ia santap. Jangankan nasi sepiring, nasi se-wakul atau se-waskom pun  langsung tandas dimakannya.

Karena ODGJ itu sering datang ke rumah kami dan mengganggu kehidupan kami maka ibuku sangat mendukungku ketika aku memutuskan memilih jurusan psikologi.  

Saat itu aku hendak mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri  (PTN) yang waktu itu namanya PERINTIS I. Alhamdulillah aku diterima dan kemudian kuliah  di program studi psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

Saat aku menempuh studi di Psikologi, usaha ayahku di bidang meubel jatuh dan ayah bekerja di tempat swasta dengan penghasilan pas-pasan.  Tentu saja penghasilan ayah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebuah keluarga dengan lima anak.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline