Lihat ke Halaman Asli

Umi Lasminah

warga Jakarta, Indonesia, Semesta. Manusia adalah paling mulia, paling sederhana sekaligus paling kompleks

KKN di Desa Penari, Tidak Seram: Jaga Perilaku di Tempat Orang

Diperbarui: 17 Mei 2022   21:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

imdb.com

 Saya termasuk diantara dua jutaan orang yang baru saja nonton film KKN di desa Penari (per 14 Mei 2022 sudah menembus 5 juta penonton) yang klaimnya genre horror, tapi saya tidak ketakutan. Bukan karena saya bukan penakut, dan bukan pengemar film horor, namun saat menonton Senin  minggu lalu, saya duduk sendirian di koridor (agar mudah kalau keluar). 

Di kursi yang saya duduki, dalam satu lajurnya tak ada orang duduk disisi kanan baris ketiga sampai ujung tembok. Padahal saat pesan tiket semua kursi penuh, yang kosong satu kursi disisi paling kiri koridor dan kursi ke 4 tengah. 

Saya menonton berdua teman, akhirnya berjauhan posisi kursinya, beda baris. Tetap demi memaksa kecocokan waktu-nya, tentu karena usaha book online gagal. Beli tiket On the spot masih untung ada beberapa kursi kosong, ya tadi meski berjauhan nomornya. 

Film yang sudah dinantikan penggemar film horor lebih dari 2 tahun  akhirnya bisa tayang di bioskop. Dua tahun tertahan pandemi, dan menurut saya marketingnya bagus, mumpuni, sehingga saking populernya menarik animo,  bisa mengalahkan film produksi Marvel yang lagi hit. Padahal filmnya tidak horror, tidak mencekam dan kurang drama.

Usai nonton film ini yang kebayang hanya Mbah Dok, "jin" yang mendampingi Nur, dan tidak seram, meskipun saya sedang tinggal dirumah sendirian, dan tak jauh dari tempat tinggal saya ada rumah kosong yang kabarnya sering muncul penampakan. Mungkin karena memang saya tidak takut dengan bangsa Jin, karena menurut saya mereka juga mahluk yang hidup di bumi berdampingan dengan mahluk lainnya, dengan eksistensi dan cara hidup di dunianya sendiri, suatu bagian dari penciptaan Sang Pencipta

Saya tergerak menonton film ini karena "hantu", "jin"-nya perempuan yang memakai pakaian penari tradisional, yang dari musik dan gamelannya mengindikasikan berasal dari Jawa. 

Saya ingin tahu apa yang ditampilkan di film ini, apakah ada yang mengusik kecintaan saya terhadap budaya tari dan keseniannya. Tak ada. Kebetulan saja, jin yang menjadi penguasa di desa yang namanya disamarkan itu mengambil sosok penari.

 Filmnya memainkan kamera blur untuk latar belakang. Sepertinya bertujuan mensamarkan sosok-sosok yang mungkin ada dipikiran penonton, atau memainkan emosi dengan kesamaran, agar penonton tambah kepo. Saya mah terganggu. 

Musiknya kurang membawa emosi, pilihan perkusi lebih cocok untuk film thriller dibanding horror. Ini horrornya lebih pada kejutan sosok yang tiba-tiba ada, atau yang sudah ada diperjelas, namun karena para pemain dan dialog yang kurang dalam dan tidak bernas sehingga emosi pemainnya kurang tergali. Kelemahan skenario disini bicara.

Secara global film ini memang berasal dari kisah nyata, dan menyajikan suatu faktual fenomenal "kegaiban" yang biasa terjadi di Indonesia, di pedalaman hutan maupun di pegunungan. Suara gamelan, doppleganger saat ada beberapa sosok sama dalam satu waktu yang ditemui Widya. Pakai mukena pulak!  Mimpi para tokoh yang sangat nyata. Puspo tajem. Namun dari itu semua, sesungguhnya masih banyak yang digali sebelum tiba pada ending yang tragis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline