Lihat ke Halaman Asli

Uli Hartati

TERVERIFIKASI

Blogger

Jadi Buzzer Itu Enggak Usah Terlalu Loyal Lah!

Diperbarui: 11 Oktober 2019   22:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Kompas.com | GLORI K. WADRIANTO

 Sedih banget ketika mengetahui salah satu "teman" yang suka menulis kemarin sempat mengalami hal tak menyenangkan. Mungkin kalian sudah baca juga kisahnya atau videonya 'kan? Dipukuli dan disiksa hanya karena perbedaan pilihan.

Menjadi buzzer di era sosial media begini menurutku bukan sesuatu yang hina, buzzer adalah sebuah pilihan pekerjaan yang bisa diambil atau tidak. Aku sendiri beberapa kali menjadi buzzer untuk beragam campaign. Kenapa mau jadi buzzer?

Uang bukan satu-satunya tujuan. Toh jadi buzzer itu enggak langsung bikin kaya kok. Ngebuzzernya hari ini, bayarannya bisa sebulan kemudian. Besarnya bayaran juga enggak seperti yang kalian pikirkan.

Mungkin dalam video dua menit sekian detik itu kalian langsung komen: "Duh! Cuman dibayar 3 juta terus kita bonyok-bonyok?" Tapi buat kami yang menjadi buzzer ukurannya bukan 3 jutanya, bukan nominalnya.

Aku bekerja di salah satu perusahaan. Dan kebetulan suka ngeblog, dan selalu ikutan ngebuzzer karena merasa bahwa aku mungkin bisa membawa sebuah kesuksesan untuk sebuah perusahaan atau instansi yang ingin mensosialisasikan sebuah program atau produk terbarunya. Tujuanku, lewat cuitan atau statusku, ada orang-orang yang akan mengubah cara pikirnya. Ada orang yang bisa mengetahui apa yang tak diketahuinya selama ini.

Aku pribadi membuat batasan dalam mengambil job sebagai buzzer. Biasanya aku mengambil job buzzer terhadap hal-hal yang aku ketahui. Misal lagi ada campaign produk susu anak, maka aku akan ambil brand yang memang aku gunakan, atau ada campaign sosial aku akan pilih tema yang memang aku suka, artinya aku enggak pernah mengambil job yang berseberangan denganku hanya karena nominalnya.

Kenapa mau jadi buzzer politik? Tahun 2014 tawaran menjadi buzzer politik juga ada, tapi saat itu aku menolak dengan alasan bahwa dalam politik itu enggak ada lawan dan kawan. Hanya ada kepentingan di sana.

Jadi aku enggak mau ketika sudah koar-koar ngejelekin si A, eh ternyata kepentingan politik menjadikannya kawan. Gimana coba mempertanggungjawabkannya?

jadi-buzzer-5d941a8d0d82307c88267712.png

Tahun 2018 kemarin tawaran itu datang lagi, kali ini aku merasa harus ikutan ngebuzzer. Tujuannya apa, Li? Selama 5 tahun Pejabat A memimpin, rasanya miris melihat banyak berita miring tentang beliau, mungkin saatnya aku ikutan bersuara untuk sebuah kebenaran.

Paling tidak aku bisa memberikan pandangan lain bagi lingkunganku. Mungkin yang membenci akan tetap membenci namun paling tidak dia membaca ada opini lain which is dikemudian hari mungkin bisa diaminkannya. Sesimpel itu saja dasar aku menjadi buzzer politik kemarin.

Bila suatu saat Pejabat A mengeluarkan statement "Saya tidak tahu ada buzzer", bisa jadi itu adalah benar. Karena aku mengambil job buzzer dari sebuah agency, dan agency ini bekerja untuk seseorang/instansi dan seseorang itu bisa siapa saja yang mendukung Pejabat A dan aku tak tahu siapa dia. Yang aku tahu aku bekerja dengan agency. Cukup sampai di sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline