Masih pagi ketika dunia belum sepenuhnya terjaga. Kabut menggantung di udara, seakan langit menahan napas di antara malam dan fajar. Dari stasiun kecil bernama Simpang Haru, suara roda besi mulai bergulir pelan, membawa kereta yang akan menembus subuh menuju kota pesisir Pariaman. Di sela-sela embun yang dingin dan tubuh yang menggigil, tersimpan semangat yang sulit diucapkan semangat untuk menelusuri kehidupan, bukan dengan mata seorang pengamat, tetapi dengan hati yang ingin memahami.
Kereta berangkat pukul 05.40, dan di balik jendela, bayangan pepohonan berlari mundur seperti kenangan yang enggan tinggal. Udara berubah warna, dari abu pucat menjadi jingga lembut. Setiap hentakan roda di rel seperti irama yang meninabobokan pikiran, membawa perenungan tentang hidup yang berputar secepat laju logam di atas besi. Dua jam perjalanan berlalu, dan ketika kereta berhenti di Pariaman, udara pesisir menyambut dengan kelembapan khasnya hangat, asin, dan sarat dengan aroma kehidupan.
Langit tiba-tiba menangis deras, seakan ingin memberi salam dengan air matanya sendiri. Kami menepi di masjid kecil dekat stasiun, berteduh di bawah atap yang sederhana. Dari sanalah perjalanan kecil itu benar-benar dimulai bukan perjalanan dengan peta, melainkan perjalanan dengan hati. Di hari yang basah dan beraroma tanah itu, aku bertemu dua lelaki yang berbeda, namun sejatinya satu dalam semangat dua manusia yang menambang harapan dari peluh, menanam cinta dalam kerja, dan menjaga makna hidup di antara kesederhanaan.
Di depan stasiun Pariaman, aroma manis bika menembus udara. Asap tipis dari tungku kecil membentuk tarian halus di udara lembap. Di sanalah berdiri seorang lelaki bernama Pak Budi, lima puluh tahun usianya, wajahnya teduh dengan garis-garis kehidupan yang sudah lama bersahabat dengan matahari. Di depan gerobak kayunya yang sudah menua oleh waktu, terhampar loyang-loyang berisi bika hangat berwarna keemas an simbol dari ketekunan yang tak pernah padam.
Bika yang ia buat bukan sekadar jajanan, melainkan warisan yang hidup dari tangan ke tangan. Usaha itu telah berumur panjang, melewati masa kakeknya, ayahnya, hingga kini diwarisi olehnya. Di balik setiap adonan, ada kisah tentang perjuangan, kesetiaan, dan kehormatan terhadap warisan keluarga. Setiap kali adonan itu diaduk, seolah ia sedang mengaduk kenangan masa kecilnya masa di mana aroma gula dan kelapa memenuhi rumah, dan tangan-tangan tua keluarganya menuntunnya untuk tidak sekadar membuat kue, tetapi membuat makna.
Pak Budi tinggal di Lubuk Alung dan menempuh perjalanan panjang setiap pagi menuju Pariaman. Dua tahun sudah ia berjualan di depan stasiun, setelah bertahun-tahun berpindah tempat mencari rezeki. Kini, dua cabang kecil usahanya berdiri; satu di stasiun tempat ia berjualan sendiri, dan satu lagi di Pantai Gandoriah yang dikelola oleh adiknya. Namun di balik keberhasilan kecil itu, ada lautan kesulitan yang tak kasat mata. Modal yang besar, harga bahan pokok yang melambung, serta daun jati pembungkus sakral bagi bika yang kian sulit ditemukan, membuatnya harus bekerja dua kali lebih keras.
Daun jati baginya bukan sekadar pembungkus, melainkan jiwa dari rasa. Ketika daun itu langka, ia tidak menggantinya dengan daun lain, sebab baginya, mengganti daun sama dengan mengkhianati cita rasa yang diwariskan oleh leluhur. Ia rela membayar mahal demi menjaga keaslian rasa. Dalam hatinya, ia percaya bahwa rasa adalah kejujuran, dan kejujuran adalah warisan paling suci yang tidak boleh digadaikan oleh waktu.
Setiap pagi ia memulai hari dengan doa, bukan untuk kekayaan, melainkan agar bika buatannya tetap membawa kebahagiaan bagi siapa pun yang membelinya. Ada kepuasan yang tak bisa diukur dengan angka ketika melihat pelanggan tersenyum, ketika seseorang berkata bahwa bika buatannya mengingatkan mereka pada rumah dan masa kecil. Ia tahu, di dunia yang semakin tergesa-gesa, sedikit orang yang masih mencari rasa, bukan sekadar kenyang.
Baginya, setiap loyang bika yang matang adalah pengorbanan yang menjadi doa, dan setiap pelanggan yang datang adalah tamu yang diutus rezeki. Dalam panas tungku dan lelah tubuh, terselip keyakinan bahwa kerja keras yang jujur tidak akan sia-sia. Ia tidak pernah marah pada hujan yang menunda pembeli, tidak mengeluh pada hari yang sepi. Ia hanya menatap langit dan meyakini bahwa Tuhan takkan meninggalkan tangan yang bekerja dengan tulus.
Ia berkata bahwa rezeki bukan sesuatu yang dikejar, melainkan dijemput dengan kerja yang jujur. Kalimat itu menggema di pikiranku bahkan setelah aku meninggalkan tempatnya. Dalam dunia yang terburu-buru mencari hasil, Pak Budi memilih berjalan perlahan, tapi pasti. Ia tahu, keberkahan tidak pernah datang pada mereka yang tergesa, melainkan pada mereka yang sabar dan tulus.
Ketika siang menjelang, cahaya matahari mulai menimpa gerobaknya. Uap bika yang baru matang naik perlahan, bercampur dengan cahaya yang lembut. Aku berdiri agak jauh, memperhatikan sosoknya yang tetap bekerja dalam diam. Ada sesuatu yang meneduhkan dari cara ia berdiri seolah dunia yang ramai tak mampu mengusiknya. Dalam dirinya, hidup telah menemukan keseimbangannya sendiri.