Lihat ke Halaman Asli

Tutut Setyorinie

TERVERIFIKASI

Lifelong Learner

Cerpen | Pertemuan di Ujung Penantian

Diperbarui: 25 Mei 2019   17:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi : www.christianegruenloh.com

Namaku Fitri. Mereka bilang, aku dilahirkan pada malam saat imam masjid mengumumkan bulan Ramadhan telah berakhir. Beratku saat itu tidak lebih dari 3 kilo. Berambut hitam, bermata tajam, persis seperti ibuku. Sedangkan alis mataku tipis melengkung, dengan bulu rambut yang acak-acakan. Mereka bilang, itu alis ayahku. 

Sedangkan aku, tidak tahu apa-apa. Tidak pernah bertanya, tidak pernah curiga. Aku seolah mengikhlaskan dunia yang telah menenggelamkan orang yang seharusnya kusebut ibu dan ayah. 

Bulan Fitri, 19 tahun lalu. Aku tidak punya apa-apa selain pakaian yang melekat di badan. Tidak rumah, tidak ayah, ibu, apalagi harta benda. Mereka yang seharusnya kusebut keluarga entah menghilang ke mana. Hingga kini, tidak ada yang kusebut orang tua. 

Bagiku sebutan itu adalah analogi klise. Toh, aku punya keluarga yang kusebut Abah dan Ama. Merekalah yang merawatku, membersihkan tubuhku dari kotoran, menyuapiku hingga membacakan dongeng pengantar tidur. Merekalah orang yang sering menyebut betapa miripnya aku dengan ibu dan ayah. Tapi mereka juga yang membungkamku ketika aku mulai bertanya.

"Mereka tidak akan kembali," sahut Abah suatu waktu.

Abah, kalian tidak pernah tahu bagaimana aku menyayanginya. Bagiku ia lebih dari sekadar ayah. Abah adalah orang yang pertama kali mengajariku naik sepeda. Ia juga mengajariku membaca, menulis, memberi makan sapi peliharaannya dan Abah pula yang mengantarkanku pada hari pertama sekolah.

Saat Ama memarahiku ketika tidak mau belajar, Abah membelaku. Ia bahkan mengajakku berkeliling dengan sepeda tuanya agar Ama tidak lagi menyuruhku belajar. Saat guruku memanggil perwakilan wali murid karena nilaiku merah. Abah pula yang maju, bahkan ia berbalik memarahi guruku. Katanya, jika ada anak murid yang gagal, seharusnya kegagalan itu merupakan pembelajaran bagi guru, bukan anak murid.

Banyak hal yang telah dilakukan Abah untukku, hingga jika ia berkata "Tidak", aku tidak akan membantahnya walau hanya di dalam pikiran. Namun kali itu berbeda. Aku benar-benar ingin bertemu mereka. Setidaknya melihat dalam bingkai foto lama. Namun Abah tetap menolak dengan mengatakan hal yang sama.

Kini harapanku tinggal Ama. Walau Ama sering memarahiku, namun aku tahu ia memiliki hati yang lembut. Sering aku memergoki Ama tengah mengusap kepalaku ketika tidur. Ia bahkan menjahitkan baju untukku ketika bulan Fitri tiba. Katanya sebagai hadiah pertambahan umurku.

Namun ketika aku bertanya, reaksi Ama tidak berbeda jauh dengan Abah.

"Untuk apa mencari mereka, tidak cukupkah Ama dan Abah untukmu?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline