Lihat ke Halaman Asli

Tupari

TERVERIFIKASI

Guru di SMA Negeri 2 Bandar Lampung

Voice for the Voiceless: Suara untuk Gajah Sumatra

Diperbarui: 23 September 2025   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Salah satu Gajah Sumatra di Taman Nasional Way Kambas Lampung. (Sumber: Dok. Pribadi/Tupari) 

Bayangkan sejenak jika seekor gajah bisa duduk di meja redaksi lalu menulis opini. Ia mungkin akan menulis singkat:

“Kami semakin sedikit, hutan semakin sempit, dan kalian masih sibuk berdebat.”

Gajah, dengan tubuh besarnya, adalah satwa yang menanggung beban paling berat dari peradaban manusia. Jalan tol, perkebunan, tambang, dan permukiman membelah habitatnya. Konflik pun meningkat: manusia menyebut gajah sebagai perusak kebun, padahal manusialah yang lebih dulu merampas hutan.

Namun, gajah tidak bisa bersuara. Ia tidak bisa melapor ke DPR, tidak bisa mengajukan judicial review, tidak bisa menyewa pengacara. Suara mereka hanya hadir sebagai bangkai di ladang, berita singkat di media: “Seekor gajah ditemukan mati dengan belalai terpotong.”

Gajah tidak pernah hadir di ruang sidang untuk membela diri. Mereka tidak bisa menulis petisi, tidak bisa mengajukan banding, bahkan tidak bisa berteriak di forum dunia. 

Namun, jejak kaki yang kian hilang, hutan yang kian sunyi, dan tubuh-tubuh besar yang tumbang menjadi kesaksian bisu atas derita mereka.

Tulisan ini lahir sebagai suara pengganti-suara untuk yang tak bersuara - agar dunia mendengar bahwa di balik keheningan belantara, ada jeritan yang menuntut keadilan.

Maka, siapa yang akan menjadi suara mereka kalau bukan kita?

Fakta yang Membisu

Data Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mencatat, populasi gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) terus menurun drastis. Saat ini diperkirakan hanya tersisa sekitar 1.700 - 2.000 individu yang tersebar di kantong-kantong habitat terfragmentasi (FKGI, 2023). 

Dalam kurun waktu 50-75 tahun terakhir, lebih dari 70 persen habitat alaminya telah hilang akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur (Mongabay, 2025; IUCN, 2022).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline