Lihat ke Halaman Asli

TRI HANDITO

Kawulaning Gusti yang Mencoba Untuk Berbagi

Jangan Tinggalkan Generasi yang Lemah di Belakang Kita!

Diperbarui: 25 November 2022   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dokumen pribadi

Siklus kehidupan di alam fana ini terus berjalan. Pelan namun pasti, kita akan mengisi peran-peran yang dijalankan oleh para pendahulu kita. Pun demikian, peran kita akan digantikan oleh para generasi penerus kita, yaitu mereka yang saat ini sedang membekali diri secara lahir dan batin supaya kelak bisa memikul amanah masa depan yang begitu berat. Harapan setiap generasi dalam perjalanan panjang siklus kehidupan manusia tentulah sama, yaitu kualitas generasi penerus masa depan harus lebih baik dari generasi saat ini. Dengan demikian, misi dari setiap generasi adalah jangan sampai meninggalkan generasi yang lemah di belakang mereka! Lemahnya sebuah generasi adalah penanda kehancuran generasi berikutnya!!!

Pendidikan adalah ladang perjuangan untuk membentuk generasi yang kuat dan berkarakter. Pendidikan, baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan dalam arti umum akan selalu memiliki visi moral yang sama, yaitu membentuk manusia beradab yang tangguh, cerdas, serta memiliki kecakapan hidup untuk menghadapi berbagai situasi dan kondisi kehidupan. Ikhtiar untuk mewujudkan visi moral tersebut memerlukan sosok guru, yaitu sosok yang mampu menjadi pencerah dan sosok bintang penuntun untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang senantiasa bertumbuh, senantiasa memperbaiki kualitas dirinya dan kehidupannya.

Secara formal, guru dapat kita temui di ruang kelas dan ruang perkuliahan. Merekalah yang memberi kita bekal pengetahuan, keterampilan, dan penanaman karakter sesuai dengan tuntutan kurikulum yang disusun oleh pemerintah. Namun, selain guru dalam arti formal, ternyata sosok guru juga bisa kita temui pada diri setiap orang dan dari berbagai kejadian/pengalaman hidup, yang akan “mendidik” kita sesuai dengan kurikulum kehidupan. Setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah. Begitu kata bijak dari Ki Hadjar Dewantara. Sekolah formal adalah salah satu tempat di mana kita bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun, kita perlu sadari bersama bahwa alam raya ini ibarat ladang perburuan yang amat sangat luas untuk memperoleh pengetahuan bermakna yang akan semakin meningkatkan kualitas kehidupan umat manusia.

Dalam upaya mendidik generasi yang kuat, maka kita yang hidup pada saat ini sejatinya adalah guru bagi adik-adik dan anak-anak keturunan kita, di mana kelak mereka akan meneruskan peran kita. Merekalah yang suatu saat nanti akan menjadi pemegang peran utama pada generasi kehidupan di masa mereka. Bagaimana kita memulai mendidik mereka? Mulailah dengan keteladanan. Sebuah teladan akan lebih baik dari seribu nasihat, begitu kata pepatah bijak. Kita semua adalah teladan bagi para generasi penerus bangsa. Para pejabat di tingkat pusat dan daerah, para guru, para seniman, para orang tua, dan kita semua dalam berbagai peran dan posisi adalah teladan bagi adik-adik dan anak keturunan kita. Semestinya, nilai-nilai yang baik yang sesuai dengan jiwa bangsa yang kita pertontonkan kepada mereka supaya menjadi teladan. Bukan sebaliknya, perilaku buruk, arogan, korup, dan berbagai perilaku negatif yang justru ditampilkan dalam etalase kehidupan bangsa. Generasi penerus bangsa memerlukan role model ideal yang akan menuntun mereka menjadi sosok yang beradab, cakap, dan tangguh. Dan itu semua akan mereka cari dalam diri kita sebagai “guru” mereka. Jika kita gagal mendidik mereka, maka yang dipertaruhkan adalah kualitas generasi masa depan. Jika generasi masa depan adalah generasi yang lemah, maka hal itu berarti akan menjadi lemah pula peradaban sebuah bangsa. Jika peradaban sebuah bangsa lemah, maka akan terancam pula eksistensi bangsa tersebut. Dengan demikian, lemahnya sebuah generasi akan berakibat pada keberlangsungan eksistensi sebuah bangsa.

Bicara tentang eksistensi peradaban sebuah bangsa, saya menjadi teringat pada teori yang dikemukakan oleh Arnold J. Toynbee, seorang sejarawan Inggris. Menurutnya, peradaban muncul sebagai respon atas suatu tantangan. Jika bangsa tersebut sanggup berdiri tegak menghadapi berbagai tantangan, maka ketangguhan peradaban bangsa tersebut benar-benar teruji. Sebaliknya, jika bangsa tersebut terlibas oleh tantangan zaman, maka peradaban bangsa itu hanya akan menjadi kenangan yang dituturkan menjadi cerita-cerita sejarah masa lalu. Toynbee memusatkan perhatiannya pada aspek psikologis dari perubahan sosial. Ia lebih dulu membahas “perpecahan dalam jiwa masyarakat” sebelum membahas “perpecahan dalam tubuh masyarakat” (keruntuhan peradaban). Artinya, perpecahan dalam jiwa masyarakat adalah awal mula dari runtuhnya sebuah peradaban.

Dari teori Toynbee tersebut ada satu kata kunci yang seharusnya menjadi kewaspadaan bagi kita semua, yaitu perpecahan dalam jiwa masyarakat. Disadari ataupun tidak, hal tersebut sudah terjadi pada bangsa kita. Ada banyak fenomena yang menjadi penanda pecahnya jiwa masyarakat. Sebagai contoh, fenomena polarisasi dalam masyarakat yang terjadi sebagai dampak dari pesta demokrasi. Dampak polarisasi tersebut sungguh luar biasa. Di berbagai media sosial dapat kita temui dengan mudah (dan seolah lumrah) berbagai hujatan dan makian kepada mereka yang berlawanan haluan politik. Selain itu, berbagai kasus korupsi yang masih saja merajalela, tawuran pemuda dan pelajar, begal motor yang pelakunya sebagian besar masih sangat muda, berbagai kasus pembunuhan seolah nyawa manusia begitu murah, dan berbagai peristiwa lain yang seolah menjadi penanda bahwa bangsa kita ini sedang “sakit”. Walaupun begitu, di sisi lain ada pula anak-anak bangsa yang menorehkan prestasi di kancah nasional maupun internasional. Tetapi, prestasi tersebut seolah tertutup dan tertimbun oleh “sakitnya” sebagian anak bangsa. Padahal, misi generasi kita adalah mendidik mereka menjadi generasi yang tangguh, bukan generasi yang lemah dan “sakit jiwa”.

Berkaca dari hal-hal di atas, maka kita semua sebagai “guru” bagi generasi penerus tentu harus bekerja keras menyembuhkan “sakit” bangsa ini. Jangan sampai kita semua menjadi terpecah-belah (dipecah-belah) karena perbedaan haluan politik. Jangan sampai juga kita menjadi musuh bagi sesama kita karena berbeda agama, berbeda suku, dan perbedaan-perbedaan lain. Ruang-ruang pendidikan di manapun berada (di rumah, di sekolah, dan di lingkungan masyarakat) adalah ruang untuk mengelaborasi (menggarap secara tekun dan cermat) proses penyembuhan sakitnya bangsa ini sekaligus sebagai ruang moderasi keberagaman, karena keberagaman adalah karunia Yang Maha Kuasa yang melekat pada esensi dan eksistensi bangsa kita.

Memang sangat berat amanah kita sebagai guru. Guru yang berjuang untuk mewujudkan generasi yang kuat dan tangguh, yang layak menjadi motor penggerak generasi kehidupan menuju ke arah yang semakin berkualitas.

Tulisan ini saya tutup dengan nasihat bijak Ki Hadjar Dewantara berikut ini.

Kalau pengajaran bagi anak-anak kita tidak berdasarkan kenasionalan, sudah tentu anak-anak kita tak akan mengetahui keperluan kita, lahir maupun batin; Lagi pula, tak mungkin anak-anak itu mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama makin terpisah dari bangsanya, sehingga kemudian barangkali menjadi lawan kita (Ki Hadjar Dewantara).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline