Lihat ke Halaman Asli

Totok Siswantara

TERVERIFIKASI

Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Paradoks Kelas Menengah di Tepi Jurang Kemiskinan

Diperbarui: 2 Maret 2024   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kondisi kelas menengah yang menyedihkan (Gambar: KOMPAS/HERYUNANTO)

Paradoks Kelas Menengah di Tepi Jurang Kemiskinan

Beda nasib kelas menengah di negeri ini dengan kelas menengah di Tiongkok. Karena ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan pasar tenaga kerja untuk kelas menengah yang berkualitas. Ironisnya semakin banyak kelas menengah yang profesinya merebut lapangan kerja kelas bawah. Akibatnya banyak kelas menengah yang penghasilannya di tepi jurang kemiskinan.

Tidak sedikit angkutan online yakni tukang ojek online, sopir taksi dan logistik online yang tergolong kelas menengah karena berpendidikan tinggi. Masih banyak jenis lapangan kerja kelas bawah yang direbut oleh kelas menengah. Hal ini merupakan indikator bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini tidak berkualitas karena tidak mampu mencetak lapisan kelas menengah yang tangguh dalam jumlah yang banyak.

Kondisinya semakin mengenaskan karena pemerintah telah menghapus ketentuan tentang upah sektoral lewat omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan dihapuskannya ketentuan tentang upah sektoral, maka jenis-jenis pekerjaan upahnya dipukul rata untuk semua daerah. Akibatnya jenis-jenis pekerjaan kelas menengah yang selama ini boleh dikata adalah primadona lapangan kerja kondisinya terdegradasi. Seperti misalnya upah pekerja sektor pertambangan, manufaktur padat teknologi,dan industri kreatif.

Harian Kompas menaksir ada 126 juta masyarakat Indonesia yang tergolong ke dalam kelas menengah atau kelompok susah kaya, dan calon kelas menengah atau kelompok rentan miskin.Pada akhirnya kelompok kelas menengah ini jadi yang paling rentan saat perlambatan ekonomi terjadi.

Prediksi Kompas di atas sangat relevan dengan kondisi di lapangan saat ini. Karena penghasilan kelas menengah terutama generasi milenial habis untuk mencicil angsuran KPR. Kelas menengah generasi milenial juga sulit mendapatkan pekerjaan yang layak dan cocok dengan bidang keilmuannya sehingga rawan untuk di PHK. Apalagi sistem kerja kontrak atau outsourcing yang marak di negeri ini semakin membuat posisi kelas menengah sangat labil karena sewaktu-waktu bisa di PHK tanpa pesangon yang layak.

Secara makro, sejumlah proyek infrastruktur nasional ternyata tidak banyak menyerap lapangan kerja formal yang mestinya menjadi segmen kelas menengah. Bahkan, investasi yang tercatat lebih besar ke sektor padat modal.Kondisi lima tahun terakhir masih memprihatinkan. Elastisitas serapan tenaga kerja untuk kelas menengah per satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap kurang dari 250 ribu tenaga kerja. Ironisnya, angka ini jauh lebih rendah dibandingkan elastisitas serapan tenaga kerja untuk kelas menengah pada 10 tahun lalu yang mencapai 500 ribu tenaga kerja.

Gembar-gembor tentang Indonesia maju dalam kampanye pemilu berganti dengan isu nasib kelas menengah yang kian pilu. Betapa beratnya mewujudkan tatanan kemajuan Indonesia. Menurut kaedah yang dianut internasional, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2030 jika memiliki klasifikasi sebagai negara berpendapatan tinggi (High Income Country/HIC) dengan pendapatan perkapita 15 ribu dollar AS. Untuk itu dibutuhkan kelas menengah yang mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil tinggi dengan sumber pertumbuhan yaitu sektor manufaktur yang tangguh dan bernilai tambah tinggi.

Kondisi industri pengolahan besar dan sedang akhir-akhir ini mengalami stagnasi bahkan ada yang terjadi pertumbuhan negatif. Padahal Sektor industri pengolahan atau manufacturing industry mestinya menjadi andalan dalam perekonomian Indonesia dan bisa menyerap lapangan kerja kelas menengah secara signifikan.

Sangat menyedihkan ternyata pasar tenaga kerja di Indonesia untuk jenjang pekerja profesional menengah hingga tinggi juga tidak membaik. Berdasarkan laporan Salary Survey yang dilansir Robert Walters Indonesia, periode pemerintahan Jokowi mestinya bisa mendorong masuknya berbagai investasi asing yang akhirnya melahirkan banyak perusahaan baru yang menyerap tenaga kerja dengan job yang layak, termasuk perusahaan rintisan (startup) di berbasis teknologi digital. Namun itu tidak terjadi. Pengangguran berlatar pendidikan tinggi semakin banyak, SDM berpendidikan tinggi yang notabene adalah kelas menengah justru banyak merebut lapangan kerja kelas bawah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline