Lihat ke Halaman Asli

Topan Bagaskara

Pemikir. Penyair. Pendaki Gunung.

Dialektika Primus Inter Pares: Pemikiran, Kenyataan, dan Kemajemukan

Diperbarui: 8 April 2024   13:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar adalak Koleksi Pribadi.

Peristiwa politik belakangan ini melahirkan pemikiran-pemikiran dari masyarakat tentang apakah pantas ia didapuk menjadi pemimpin Negara?. 

Tatkala seorang pemimpin harus mampu menuntun bangsa menuju sebuah pemikiran kemajuan bukan malah kepada sebuah kemandekkan. Oleh karena itu, pemerintah harus kembali berdialog dan memberi pemaknaan yang segar terhadap orientasi pemikirian para pendiri bangsa akan masa depan bangsa Indonesia. Tanpa hal tersebut, para pemerintah berikutnya, akan membawa masyarakatnya berjalan di tempat atau malah tersuruk ke lingkaran setan.

Merawat pikiran-pikiran para pendiri bangsa seperti, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Soekarno, Agus Salim dan Natsir. Merupakan cara langkah yang benar demi merawat mimpi bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dan berdaulat. 

Wajar jika mereka disebut sebagai primus inter pares. Pada alam pikiran merekalah terwujud bangsa Indonesia yang ideal dan memiliki otentik. Meskipun kesamaan adalah kemustahilan apabila berbicara konteks ideal, akan tetapi kecerdasan mereka adalah mampu mengelola perbedaan. Sebab hakikatnya, negara ini didirikan atas dasar kemajemukan, dengan kemajemukan tersebut justru menghasilkan persatuan.

Politik hari ini harus bertumpu pada kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidup, itu mengapa diperlukannya sosok pemimpin yang mampu mengolah serta memiliki kepekaan terhadap persoalan kedua hal tersebut. 

Selanjutnya, bangsa Indonesia merindukan pemimpin yang memiliki intelektualitas yang cerdas yang tidak hanya bertumpu pada elektabilitas saja, serta pemimpin yang paham pada etika dan estetika berpolitik di Indonesia terkhusus pada masyarakat kita.

Berkenaan dengan itu, saya melihat politik hari ini makin lama makin bergantung pada testimoni, upacara penghargaan, semisal pemberian nama adat dengan mengingkari adat, angka-angka lembaga survei, dan jumlah suara pemilih menjerumuskan perpolitikan yang sekadar drama elit yang tak dapat dicegah, sementara rakyat sebagai pemegang daulat, pemberi mandat hanya sebagai pemeran di dalam kondisi-kondisi ciptaan.

Rakyat tidak diberi jalan untuk sampai pada kebenaran politik dengan banyaknya penggiringan oleh kalangan politisi. Karena itu demokrasi kita harus dikelola oleh orang-orang yang berpikir dan rasional. Dan sekali lagi, demokrasi tidak butuh persatuan, demokrasi membutuhkan orang-orang yang piawai mengelola perbedaan.

Kemudian, sesungguhnya kematangan atau kedewasaan bangsa dapat ditempuh melalui sebuah proses dialektika antara pemikiran dan kenyataan. Kini kita berada pada era pertarungan globalisasi. Dunia telah saling terkait satu sama lain, politik balas budi. Atau politik sandera-menyadera.

Persoalan yang meletus di sebuah bangsa bisa seperti domino yang rubuh mengenai bangsa lain, yang dibutuhkan adalah sebuah upaya meningkatan pengetahuan dan kepekaan untuk bagaimana menjadi manusia Indonesia yang bermartabat, tulus dan ikhlas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline