Lihat ke Halaman Asli

Tigaris Alifandi

Karyawan BUMN

Terima Kasih The Economist atas Kritiknya

Diperbarui: 31 Januari 2019   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar dari serambinews.com

Sekitar tiga hari yang lalu,kritikan keras dilancarkan oleh sebuah media ekonomi terkemuka dunia.Y ang telah didirikan oleh James Wilson sejak 1843. The Economist,dengan reputasi sebagai media yang pro terhadap liberalisme ekonomi. Menuliskan sebuah kritik berkualitas terhadap Pemerintahan Joko Widodo.Judulnya "Indonesia's Economic Growth is being held back by populism".

Staf Khusus Presiden bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengapresiasi kritikan The Economist tersebut. Meskipun beberapa data memang dinilai tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.Sanggahan pemerintah atas kritikan tersebut bisa juga dikatakan sebagai klarifikasi atas beberapa data yang kurang tepat.

Terlepas dari itu semua,saya rasa kita harus berterima kasih kepada The Economist yang mengebrak Pemerintahan Jokowi dengan argumen yang merangkum keresahan yang belum diungkap namun penting.Tidak seperti oposisi yang sebenarnya kita harapkan mereka yang melakukan ini.

Karena oposisi lebih sibuk dengan kritik terhadap utang, kekayaan negara bocor keluar, harga sembako naik,lapangan pekerjaan sulit. Di mana itu semua sangat subjektif.

Berbeda dengan The Economist yang langsung menohok dengan kegagalan Jokowi mewujudkan janjinya pada 2014 lalu untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Sama dengan kritikan oposisi memang, bedanya The Economist menyebutkan bahwa Indonesia punya potensi besar untuk mewujudkannya andai Presiden Jokowi lebih berani mengambil risiko. Catatan The Economist yang penting,adalah sekitar setengah dari 265 juta penduduk kita berusia dibawah 30 tahun.

Proyeksi BPS untuk tahun 2019,diperkirakan kelompok usia produktif akan mencapai 67% dari total populasi,dimana 45% diantaranya berusia 15-34%. Ini harus dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas nasional.Namun,kondisi yang terjadi malah sebaliknya.

Investor mengeluhkan tentang kurangnya pekerja Indonesia  yang terampil.Namun upahnya tinggi.The Economist membandingkan dengan upah pekerja manufaktur Vietnam yang lebih murah 45%.Keb ijakan menaikkan UMR yang dilakukan pemerintah daerah lebih didorong untuk meraih dukungan politik dari masyarakat.

Meskipun Pemerintahan Jokowi telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 untuk mengatur kenaikan Upah Minimum Regional yang tidak terkendali hingga membuat investor pada kabur.Namun tetap saja Investor masih ragu-ragu menanamkan modalnya.

Perlu diketahui bahwa Indonesia kekurangan tenaga ahli.Meskipun secara kuantitas sekitar  dua kali lipat dari Malaysia dan Thailand,sekitar satu setengah kali lipat dari Vietnam,dan lima kali lipat dari Vietnam.Jika dibandingkan dengan keseluruhan tenaga kerja,prosentase tenaga ahli Indonesia hanya 10,7%.Masih kalah jika dibandingkan dengan Malaysia (26,8%),Thailand (14,6%),Vietnam (11,8%),dan Singapura (56%).

Infografik dari Katadata.com

Oleh karena itu banyak investor manufaktur lebih memilih membuka pabrik di tetangga kita,macam Toyota yang lebih memilih membangun pabrik perakitan di Malaysia (selain karena pertumbuhan industri mobil di sana juga menggiurkan).

Pemerintah menyanggah dengan angka pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) yang meningkat rata-rata 5,2% per tahun jika dibandingkan dalam kurun waktu 2012-2014.Kontribusi PMTDB terhadap Produk Domestik Bruto naik menjadi 32,16% ketimbang 31% pada 2010.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline