Lihat ke Halaman Asli

AKHMAD FAUZI

TERVERIFIKASI

Ada yang sedikit membanggakan saya sebagai "anak pelosok", yaitu ketiga bersama pak JK (Jusuf Kalla) menerbitkan buku keroyokan dengan judul "36 Kompasianer Merajut Indonesia". Saya bersama istri dan ketiga putri saya, memasuki akhir usia 40an ini kian kuat semangatnya untuk berbagi atas wawasan dan kebaikan. Tentu, fokus berbagi saya lebih besar porsinya untuk siswa. Dalam idealisme saya sebagai guru, saya memimpikan kemerdekaan guru yang sebenarnya, baik guru sebagai profesi, guru sebagai aparatur negara, guru sebagai makhluk sosial.

Belum Anakku, (Puncak) Merdeka (6)

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1408247715413387176

"Proklamasi, kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan.......".



Antiklimaks turunnyabendera menyerah, dari emosi yang mengungkung kodrat manusia. Pintu untuk memasukkan sabda mulia akan eksistensi kehidupan dari ruang yang telah diatur oleh Tuhan dalam bingkai kepastian hak dan kewajiban. Menggugat itu, sama dengan menafikan ketinggian harkaat diri. Membiarkan menggelinding, melahiran skenario penggilasan tatanan bak bunuh diri yang tersadari.

Tidak salah untuk euphoria, asal berani menjamin adanya euphoria baru di lain waktu. Tetapi ingat, ada yang namanya Bhinneka di sana, juga mahalnya keyakinan, tulusnya keinginan, rimbunnya kehendak dan angan. Euphoria itu harus menari bersama mereka. Jika tidak, maka salah, karena ada yang dihinakan di sana. Berarti ada yang lupa dibaca! Artinya, antiklimaks itu perlu penyempurna.

Lihat, bagaimana Individu mempertarungkan jilbab, tarik-menarik. Bukan jilbabnya yang robek, tetapi pintalan keyakinan yang telah susah payah dijaga untuk menjadi kekayaan marwah. Robeknya pintalan itu akan menjadi sinopsis dendam di babak selanjutnya.

Intip pula dengusan kebencian dan ego sektarian diri. Bukan peradaban yang hancur oleh benci atau lebur oleh muak tingkah ego diri. Tetapi, dengusan itu hanyalah bacaan yang usang yang senantiasa terulang. Padahal, pendahulu kita senantiasa bergegas beranjak meninggalkannya selama umur yang beliau punya.

Jalan pembatas dari Tuhan (pun negara) juga dipaksa dimaknai sesukanya. Akibatnya akan melahirkan rangkaian celah. Celah itu jika diintip dari awang-awung sana selalu berekor merah. Bisa dibayangkan, apa jadinya jika pemaknaan itu menjadi hal yang biasa. Mata langit tidak akan biru cerah lagi, tetapi meradang dan pucat pasi tak bergairah.



14082482711187144714

(dari aliffira.wordpress.com)



Nak, segera temukan kemerdekaan mu

Agar proklamasi itu tidak berlalu

Merdekamu memastikan senyum semua

Penanda cinta yang telah beliau sapa

Merindukan Pertiwi seperti kala belia, sama mulianya dengan mensyukuri beranjaknya waktu yang mulai mendewasakannya, atau tetap mencinta walau sudah paruh baya bahkan renta, nantinya.

Nak, bapak belum merdeka! Yah

Agar kamu merasakan yang sama di masanya

Agar generasi selanjutnya tetap ada

Karena ada hasrat ingin merdeka

Seperti pendahulu kita



Kertonegoro, 17 Agustus 2014



Salam,

Ilustrasi : www.fotografindo.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline