Lihat ke Halaman Asli

Kasus Ibu-ibu Ganjen [Detektif Kilesa]

Diperbarui: 14 Agustus 2020   15:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.istockphoto.com

KASUS IBU -- IBU GANJEN

Sudah lama aku tidak datang ke Caf History ini. Sebenarnya kasus petir konyol kemarin belum selesai, dan diskusi serta penyelidikan masih berjalan dengan pelik. Kami menemui jalan buntu. Untuk mencari udara segar, Charles menyarankanku pergi ke tempat ini. Aku setuju. Dulu tempat ini langgananku, selain karena kopi Lattenya enak, pemandangan dari tingkat duanya juga bagus.

Dan tempat ini masih sama seperti dulu. Dari tingkat dua terlihat traffic kendaraan yang lalu -- lalang di bawah sana. Tapi tidak berbau asap, karena sekeliling caf terdapat rimbunan daun pepohonan. Pagi yang tertutup awan juga membuat suasana tidak panas -- panas amat. Kondisi yang sempurna untuk mendinginkan pikiran.

Perbedaannya adalah tempat ini sedikit lebih ramai. Memang ada musik latar belakang, tapi beberapa kaum milenial bercanda tanpa menghargai lingkungan sekitar. Sambil menunggu Mexican Latteku, aku menyibukkan diri dengan membaca koran hari ini. Orang lain pasti berpikir: siapa yang baca koran di jaman seperti ini? Namun aku memang menyukai beberapa kebiasaan kuno.

Kursiku berada tepat di samping anjungan pagar. Di depanku, sudah tersusun tiga buah meja berderet. Artinya sudah dibooking untuk sebuah perkumpulan. Dugaanku benar saja. Tiga orang ibu -- ibu muncul dari bawah sambil menenteng tas dan kipas. Dari gayanya, mereka adalah sosialita kelas menengah ke atas. Make-up yang menor, busana yang elegan, parfum yang menusuk hidung, meyakinkan opiniku. Aku bahkan bisa melihat merek Chanel dan Hermes di tas mereka.

Mereka mengambil tempat di depanku. Satu orang menghadapku dari seberang, sementara dua lagi memunggungiku. Kipas segera beraksi di samping kepala. Aku tertawa dalam hati. Kota ini terkenal dengan kesejukannya, dan bahkan pagi ini cukup dingin, tetapi mereka berlagak seperti di ibukota saja. Yah, lakukanlah apa pun, selama aku tidak merasa terganggu.

Kemudian datang satu ibu -- ibu lagi. Ia mengenakan kebaya hitam modern berenda panjang, mengambil duduk di sebelah kiri. Nampaknya ia adalah yang paling senior. Ketiga sahabatnya segera menyambutnya dengan senyuman, juga sebutan ibu. Atau mungkin aku yang salah tangkap.

"Selamat pagi, Bu Hakim, bagaimana kunjungannya dari San Fransisco? Saya juga loh, minggu depan bakal pergi ke Los Angeles. Mau lihat -- lihat museum kereta api, sama suami saya. Katanya bagus. Terus dari sana mau ke Niagara, dengan yacht Ferhavitz, tentunya." ujar ibu -- ibu yang menghadapku. Orang ini adalah orang yang berdandan paling menor, dengan bulu mata lentik layaknya bintang sinetron. Aku sebut saja Bu Menor.

"Saya yakin Bu Hakim tidak mengalami jet lag usai berpergian jauh. Lihat saja, wajahnya ayu bugar, kemayu seperti bulan purnama! Saya, selaku pemimpin kosmetik Indira, iri dengan kecantikan Bu Hakim."

Orang yang disebut Bu Hakim hanya menggeleng mendengar pujian sahabat -- sahabatnya. Ia menjawab, "Tidak perlu memuji berlebihan. Kalian juga cantik. Namun yang paling penting, apakah kalian bahagia dalam hidup ini. Itu yang seharusnya menjadi tujuan kalian."

Orang ketiga, yang belum berucap apa -- apa, akhirnya berkata. Dari nada ucapannya aku yakin ia adalah orang culas dan nyinyir. Namun orang seperti ini pasti ada dalam setiap perkumpulan. "Tidak usah menjadi sok -- sok motivator, Bu Hakim. Yang paling penting di dunia ini adalah uang. Iya, uang! Makanya bisa jalan -- jalan. Ngomong -- ngomong, mana si Widuri bersaudara itu? Si Charlotte konyol itu yang merekomendasikan tempat ini, dan panasnya bukan main! Seperti di oven pinggir jalan saja!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline