Lihat ke Halaman Asli

Taufiq Agung Nugroho

Asisten Peneliti

Kata Persetujuan Seks Itu Sensitif, Lebih Sensitif dari Urusan Utang

Diperbarui: 12 September 2025   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penari tradisional Bali tempo dulu (Sumber: Koropak.co.id)

"Siapa sangka, cuma gara-gara satu kata, kita jadi tahu kalau negara ini masih bingung membedakan urusan kasur dengan urusan hukum."

Dulu, saya kira yang paling sensitif itu cuma masalah utang. Giliran nagih, semua bisa berubah jadi drama Korea. Tapi ternyata, ada satu kata yang jauh lebih sakral, lebih berbahaya, dan bisa bikin seisi negeri ribut. Kata itu: persetujuan.

Di negeri ini, kata "persetujuan" alias consent bisa jadi hantu yang bikin bulu kuduk merinding. Seolah-olah, kata itu baru saja mendarat dari planet asing, membawa ajaran sesat yang merusak moral bangsa. Padahal, kita ini hidup di atas tanah yang sejarahnya sudah sangat akrab dengan berbagai bentuk persetujuan. Mau jadi apa, mau menikah sama siapa, bahkan mau menari apa, semua butuh persetujuan. Jadi, kenapa kok pas ngomongin persetujuan yang satu ini, semua jadi serba panik?

Ternyata, perdebatan ini bukan cuma soal kata. Ini adalah cerminan dari pertarungan dua paradigma besar yang lagi tarik-menarik di Indonesia: antara dogma moral-religius dan kebutuhan akan perlindungan hukum.

Persetujuan dan Ingatan Kolektif yang Sengaja Dihapus

Ada anggapan kalau persetujuan itu barang impor yang dibawa oleh kaum liberal. Argumen ini dangkal dan melecehkan sejarah. Kalau mau jujur, kita ini punya tradisi yang menunjukkan bahwa konsep persetujuan bukan hal baru.

Narasi yang menolak "sexual consent" justru tidak sesuai dengan kenyataan. Dulu, masyarakat kita tidak se-monolitik itu. Ambil saja contoh, ada konsep "rabi" dalam masyarakat Jawa Kuno, di mana pernikahan bukan sekadar ikatan hukum, tapi juga simbol persatuan yang didasari kesuburan dan kesejahteraan. Ritual-ritual kesuburan, seperti tarian atau upacara yang melibatkan interaksi intim, seringkali dilakukan dengan pemahaman kolektif yang mendalam, bukan semata-mata paksaan. Ini menunjukkan ada kesadaran komunal tentang kesepakatan.

Contoh lain, Tari Janger di Bali. Pada masa lalu, tarian ini terkadang disusupi tarian yang lebih provokatif, di mana penari laki-laki dan perempuan saling menggoda. Meskipun begitu, itu adalah bagian dari pertunjukan yang memiliki aturan dan batasan, bukan sekadar ajang ekspresi bebas tanpa kendali. Pemahaman ini menunjukkan bahwa ada etika dan norma tak tertulis yang mengatur hubungan. Intinya, persetujuan itu ada, hanya saja belum pakai label modern dan terbungkus rapi dalam kearifan lokal.

Permendikbud 30: Ketika Urusan Hukum Dicampur Urusan Moral

Pergeseran makna persetujuan menjadi sangat penting ketika ia masuk ke ranah hukum. Klimaksnya terjadi saat Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) diterbitkan. Pasal yang paling bikin gaduh itu soal frasa "tanpa persetujuan korban."

Baca juga: Ketika Budaya Berbeda, Batasan Pelecehan Seksual Jadi Abu-abu

Dilansir dari artikel di VOI, frasa ini sontak memicu badai protes dari kelompok-kelompok yang khawatir. Mereka beranggapan bahwa kalau peraturan hanya melarang kekerasan yang dilakukan "tanpa persetujuan," itu artinya kekerasan yang dilakukan atas dasar suka sama suka menjadi halal. Pandangan ini mengaitkan kekerasan seksual dengan perzinahan dan mengabaikan fakta bahwa keduanya adalah isu yang berbeda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline