"Ketika tuntutan hidup membanjiri dari segala arah, benarkah mental kita jadi megap-megap tak berdaya di tengah harapan yang melambung tinggi?"
Pernah merasa dikejar-kejar bayangan "harus"? Harus berprestasi, harus sukses, harus punya ini-itu, sampai harus kelihatan bahagia di media sosial. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, rasanya hidup ini kok jadi medan perang ekspektasi, ya? Bukan cuma ekspektasi dari orang lain, kadang justru kita sendiri yang paling kejam sama diri sendiri. Alhasil, badan mungkin masih tegak, tapi hati dan pikiran rasanya sudah 'kembang kempis', minta ampun.
Dari Mana Datangnya Segudang Harapan Itu?
Coba deh kita jujur. Sejak kecil, kita sudah dijejali berbagai harapan. Dari rumah, orang tua ingin anaknya pintar, sopan, dan berbakti. Di sekolah, guru menuntut nilai bagus, aktif berorganisasi, dan jadi panutan. Belum lagi lingkungan pergaulan, yang kadang diam-diam menuntut kita punya hobi yang keren, gaul, atau tampil sempurna.
Saat kaki mulai menapak dunia kerja, ceritanya makin rumit. Persaingan tiba-tiba jadi lebih ketat dari skripsi, jam kerja kadang tidak kenal waktu, dan tekanan untuk selalu "lebih"—lebih produktif, lebih inovatif, lebih cuan—itu ada di mana-mana. Kita harus bisa multitasking, jadi problem solver, dan tetap senyum padahal di dalam hati sudah teriak-teriak minta liburan.
Parahnya, era digital ini bikin ekspektasi makin liar. Dikutip dari berbagai ahli, media sosial itu ibarat panggung besar di mana semua orang menampilkan versi terbaiknya. Kita lihat teman liburan mewah, kolega naik jabatan, atau influencer pamer barang baru. Nah, tanpa sadar, kita jadi membandingkan diri dan ikut memasang standar yang kadang tidak realistis. Kita merasa harus punya 'hidup keren' seperti yang terlihat di feeds, padahal di baliknya, kita tahu itu cuma potongan-potongan momen terbaik, bukan seluruh cerita.
Saat Mental Kembang Kempis Bukan Cuma Capek Badan, tapi Jiwa Juga
Tekanan semacam ini, apalagi ditambah dengan kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai atau kondisi finansial yang bikin pening, bisa menjadi pemicu stres yang luar biasa. Dilansir dari Halodoc, stres adalah respons alami tubuh terhadap tuntutan atau ancaman. Masalahnya, kalau tuntutan ini datang terus-menerus tanpa henti, stres bisa jadi kronis dan merusak kesehatan mental.
Kita mungkin sering dengar istilah burnout. Nah, itu salah satu wujud nyata dari mental yang kembang kempis akibat ekspektasi berlebihan. Rasanya lelah luar biasa, motivasi hilang, dan produktivitas anjlok. Mengacu pada Alodokter, stres akibat pekerjaan saja bisa memunculkan gejala fisik seperti sakit kepala, gangguan tidur, hingga masalah pencernaan, belum lagi gejala psikis seperti mudah tersinggung atau sulit konsentrasi.
Bukan cuma stres, tekanan ekspektasi ini juga bisa memicu kecemasan berlebihan. Kita jadi khawatir terus-menerus tidak bisa memenuhi standar, takut mengecewakan, atau cemas tentang masa depan yang tidak pasti. Dalam kasus yang lebih parah, kecemasan kronis bisa berkembang menjadi depresi, di mana seseorang kehilangan minat pada aktivitas yang dulu disukai, merasa putus asa, dan punya energi yang sangat rendah.
Ketika Uang Jadi Sumber Beban, Dompet Tipis Hati Jadi Resah
Salah satu pemicu stres yang paling nyata dan sering diabaikan adalah masalah finansial. Di tengah tuntutan gaya hidup dan harga kebutuhan yang terus merangkak naik, tekanan untuk punya uang yang cukup—atau bahkan lebih—jadi ekspektasi tak terhindarkan. Dilansir dari Universitas STEKOM, kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai, gaji yang pas-pasan, atau bahkan utang, bisa menjadi tekanan mental yang luar biasa. Kita jadi khawatir tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar, apalagi ekspektasi sosial untuk punya ini-itu. Kondisi ini membuat seseorang merasa tidak aman, tidak berdaya, dan terjebak dalam lingkaran kecemasan yang sulit ditembus.
Baca juga: Kesehatan Mental Gen Z dan Milenial, Suka Baperan atau Memang Sudah Gawat Darurat?