Langit Kaliurang siang itu tampak seperti kanvas yang dilukis dengan gurat mendung tipis. Jalanan menanjak yang kami lalui berliku di antara pepohonan.
Sudah sekitar satu setengah jam kami berkendara dari pusat kota Yogya, membawa kami menuju sebuah bangunan yang namanya sudah beredar di banyak obrolan: Museum Anaia & Alisha. Museum Renoah, ruang yang bukan hanya menyimpan benda, tapi juga cerita tentang Nusantara.
Di sana, Mbak Yuli sudah menunggu. Dia lebih dulu datang walau berangkat hampir sama dari Pasar Ngasem karena kami harus mampir sejenak untuk membeli Roti Gulung Abon di Jalan Bu Ruswo. Dari jauh, saya sudah melihat gedung megah berlantai lima atau enam dengan tulisan besar MUSEUM di atasnya, seakan memberitakan ke masyarakat sekitar bahwa ini benar-benar sebuah museum. Sementara tujuan kami adalah sejenak berkumpul reuni mini dengan kawan dan keluarga.
Museum : dokpri
Setelah memarkir kendaraan, kami masuk ke lobi museum ini. Atmosfer di lobi ini sekilas tampak modern dan sangat futuristik. Pilar-pilar beton menjulang, menciptakan ruang dengan langit-langit tinggi, mengingatkan saya akan bangunan gaya tropis era Hindia Belanda.
"Sugeng Rawuh, Anaia & Alisha, Museum Rempah, Spices & Resto, Kaliurang, Yogyakarta," demikian tertulis pada salah satu sudut lobi. Ada tempat duduk dengan meja putih berukiran klasik yang kontras dengan lantai hitam-putih motif geometris. Ruangan ini memiliki nuansa semi-outdoor, dengan cahaya alami yang masuk dan pemandangan hijau di kejauhan.
Lobi : dokpri
Saya mendekat ke resepsionis, melihat ke tiang besar yang dihiasi menu makanan dan minuman. Ada makanan utama seperti udang rempah Kaliurang, bebek rempah, ayam rempah kelapa, dan masih banyak lagi. Minumannya pun bernuansa rempah, seperti wedang uwuh, wedang secang, wedang jahe, teh rempah, hingga Semar Mesem.
Sejenak, saya mengintip keluar dan melihat teras yang tertutup karpet sintetis warna hijau muda dengan nuansa rumput. Uniknya, di sini ada juga pengunjung yang membawa tikar untuk duduk bersantai
Reuni Mini: dokpri
Tak lama kemudian, kami disambut oleh Pak Arman dan Bu Nita, pemilik sekaligus pelopor museum ini. Mereka mempersilakan kami duduk.